Tegang. Satu kata ini bisa dibilang paling mendominasi suasana di ruang tamu yang tak seberapa besar itu. Tiga puluh menit telah berlalu sejak kepergian keluarga Umar, akan tetapi tampaknya pertemuan pagi ini menyisakan murka pada diri Harjono. Pecahan gelas dan piring berserak dimana-mana, bahkan meja kayu yang ada di ruang tamu rubuh sebab patah salah satu kakinya.
Tidak seorang pun berani menyela kemarahan Harjono. Bahkan putra kesayangaannya, —Hasyim, tak mampu menenangkan amarah Harjono. Pemuda itu hanya bisa diam lalu tanpa sepatah kata pun ia melangkah menuju kamarnya dan mengunci pintu. Entah apa yang ia lakukan di dalam kamar, yang pasti, pemuda ini juga sedang mencari aman.
Berbeda dengan Hasyim yang dengan sengaja masuk dan mengunci diri di dalam kamar. Di sebuah ruangan di sebelahnya, seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu sembari menggigit bantal guna menyumbat isak tangisnya. Wanita ini tak lain adalah Ikha. Benar. Wanita bergamis merah terang dengan hijab yang sudah tak karuan bentuknya. Ikatan rambutnya juga terlepas bahkan beberapa helai rambutnya rontok mengotori lantai.
Kepalanya berdenyut cepat seiring dadanya yang terasa makin berat sebab pasokan udara yang dirasa semakin tipis hingga menyebabkan Ikha kesulitan bernafas. Bukan. Ini bukan karena oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan pernafasan Ikha, melainkan wanita ini yang sudah terlalu dalam tenggelam di lautan dukanya. Luka lebam di area pipinya menjadi saksi kekerasan yang Harjono lakukan pagi ini. Ingin sekali Ikha berteriak, memaki pria yang tadi dengan kejam menjambak juga menyeretnya dan menguncinya di dalam kamar.
Namun, rintihan dan teriakan Ikha seolah tercekat di tenggorokan hingga menyebabkan sesak nafas yang menyiksanya. Ikha sadar bahwa jawabannya pagi ini sudah pasti menyulut kemarahan yang luar biasa dari Harjono. Bukan tanpa rasa takut ketika ia menolak Umar, tapi seandainya Ikha diberi kesempatan untuk lebih jujur lagi, wanita ini lebih takut dengan ikatan pernikahan yang ada di hadapan matanya.
Pertemuannya dengan Talitha semalam membuat Ikha semakin sadar bahwa pria dengan kekayaan yang melimpah dan ilmu agama yang tinggi saja tak cukup untuk menjadi seorang imam dalam rumah tangga. Dalam kesendiriannya di kamar, Ikha kembali teringat ucapan Talitha.
"Faizal bukan pria yang tidak mengenal agama. Sebaliknya. Dia justru terlihat sangat agamis, berbanding terbalik denganku yang bahkan pada saat itu saja masih enggan menggunakan hijab."
.
.
"Aku bahkan pernah ada di titik dimana dalam pandanganku seluruh wanita bercadar itu adalah pelakor, dan pria yang bersurban adalah pecandu selangkangan! Jujur, sebenarnya pandangan seperti itu masih terkadang menodai sudut pandangku."
.
.
"Astaghfirullahal 'adziim." Ikha buru-buru meraih tasbih dan segera memperbanyak istighfar."Yaa Allah ... tolong ampuni Ikha dengan segala buruk sangka yang terlintas, Yaa Allah."
"Tolong ampuni Ikha, Yaa Allah. Ikha tidak siap menikah, Ikha tidak ingin menikah. Ikha takut Yaa Allah. Ikha tidak siap dengan pernikahan ini, Ikha merasa sedang diperjual belikan oleh Bapak. Tolong Ikha, Yaa Rabb. Ikha takut."
Rasa yang menyakiti perasaannya itu kembali menyapa dan membuat Ikha tak ada pilihan selain mengadukannya kepada Sang Khaliq. Wanita ini mengambil posisi terdekat antara hamba dengan Tuhan, yaitu dengan bersujud. Ikha ceritakan segala kesusahan, keraguan, dan rasa sakit yang timbul dari sikap Harjono selama ini.
Dalam sujudnya, Ikha kembali teringat dengan kejadian beberapa menit yang lalu.
Kedua tangan Ikha sudah terasa dingin sebab apa yang Hasyim katakan memang benar adanya. Ia mendengar langsung permintaan pinangan dari Ustadz Harun selaku orang tua dari Umar, sementara yang bersangkutan mengangguk sembari tersenyum juga membenarkan hal tersebut. Ikha merasa tak perlu mempertanyakan pendapat Harjono, karena jika dilihat dari persiapan yang Harjono lakukan pagi ini, rasanya hampir tidak mungkin ia akan menolak lamaran yang datang untuk putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Putih Untuk Zulaikha
Духовные[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta yang menulis alur kehidupannya. Di sisinya, ada pemuda yang mencintainya dengan hebat lalu diminta San...