20. Ridho Allah Adalah Segalanya.

51 26 0
                                    

Sudah lima kali pemuda ini berganti pakaian dan kini ia mengerang frustasi. Ia merebahkan diri di kasur, mencoba menenangkan detak jantungnya makin tak karuan sejak semalam. Tangan kanannya meraih satu dompet kecil berwarna abu-abu dengan gantungan bunga mawar putih di satu sisi. Spontan saja kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.

Didekapnya dompet kecil itu, aroma mawar masih tercium dari dompet tersebut. Wanginya tidak terlalu kuat seperti bunga mawar kebanyakan tapi tetap saja mampu menghantarkan kesenangan tersendiri bagi pemuda berkaus putih tulang ini.

"Ya Allah, Endra!"

Pemuda yang tadi sedang diterbangkan oleh aroma lembut yang tertinggal oleh si pemilik dompet mendadak tersadarkan kembali. Endra meringis kesakitan ketika pantatnya lebih dulu mendarat di lantai lalu menatap takut-takut pada wanita berdaster yang berkacak pinggang di depan pintu kamarnya.

Irma dibuat geleng-geleng sekaligus geram melihat isi kamar Endra mendadak tak ubahnya sebuah ruangan yang baru saja terkena musibah angin puting beliung. Berantakan parah! "Ini kenapa baju-baju pada keluar semua dari lemari?"

Irma melangkah masuk. "Ini juga! Kenapa gamis dan sarung berserakan? Ya Allah, Endra ini baju koko baru kemarin Bunda setrika kenapa sekarang udah lecek?!"

Melihat Irma yang tampak kesal, Endra jadi kelabakan sendiri. Niatnya ingin ikut membantu merapikan kamar namun rupanya hal tersebut justru membuat Irma kembali memekik. "Endra! Mungut bajunya jangan pakai kaki bisa gak, sih? Kayak monyet aja!"

"Ih, Bunda ... masa anak sendiri dikata kayak monyet?" protes Endra.

"Habisnya kamu ini juga aneh! Emang mau kemana? Kok sampai berantakin kamar begini? Mau ketemu siapa?"

"E-enggak ketemu siapa-siapa, kok, Bund," jawab Endra gugup. Ia tundukkan pandangan karena takut ketahuan berbohong.

Irma mendekati Endra, diangkatnya dagu putra tunggalnya agar ia bisa melihat langsung pada kedua mata Endra. Alis Irma mengerut dan hal itu membuat Endra semakin gugup.

"Jujur sama Bunda. Kamu mau kemana dan ketemu siapa?" tanya Irma tegas.

"Cu-cuman mau ngerayain ulang tahun sama temen-temen, kok, Bund."

Irma tersenyum mengejek. "Temen apa temen?"

Irma bukannya tidak mengerti faham kalau ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Endra. Namun, Irma memilih mencoba untuk tidak terlalu ikut campur dengan urusan pribadi Endra. Hari ini memang hari ulang tahun Endra yang ke-19 tahun dan kebetulan sekali ini adalah akhir pekan. Sebetulnya sudah hal yang wajar jika Endra ingin merayakan ulang tahunnya dengan teman-teman, tapi Irma tidak percaya alasan itu.

Hal yang membuat Irma tidak terlalu percaya pada putranya adalah perkataan bahwa ia ingin merayakan ulang tahun dengan teman-temannya. Irma hafal betul dengan watak Endra yang tidak mungkin akan mengadakan suatu acara tanpa merundingkan dulu dengannya. Selain itu, anak ini terlalu pendiam untuk bisa beramah-tamah di sebuah acara. Mustahil sekali jika Endra tiba-tiba merayakan ulang tahunnya, mengingat selama ini justru ia yang menolak untuk ulang tahunnya dirayakan sebab trauma masa lalunya.

"Bunda," lirih Endra.

"Kenapa?" tanya Irma tanpa menoleh. Wanita itu sibuk melipat kembali beberapa baju milik Endra.

"Menurut Bunda ... aku sama Mbak Ikha cocok gak, sih?"

Irma tersenyum tipis. Akhirnya ia bisa mengerti alasan sebenarnya mengapa Endra sudah membuat kekacauan sepagi ini. Benar-benar jatuh cinta rupanya, batin Irma.

"Bunda? Kok malah senyum-senyum sendiri, sih?"

"Bunda lagi menilai seberapa cocok kamu dengan Ikha," dalih Irma.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang