8. Kekhawatiran Umar

81 44 5
                                    

Perbincangan akan selalu menjadi hal yang mengasyikkan ketika di dalamnya ada sosok seperti Umar. Mampu membawa arah pembicaraan yang awalnya terkesan berat dan memusingkan namun menjadi hal yang seolah tampak ringan dan menyenangkan, ditambah kemampuannya mendengar lawan bicara membuat siapapun merasa dihargai dan pasti betah berlama-lama berbincang dengan Umar.

Tak melulu menguasai topik pembicaraan, sesekali ia menyerap informasi yang disampaikan dan sesekali ia juga menyisipkan petuah-petuah bijak yang ia kutip dari para Ulama terdahulu dikala lawan bicara mulai mengeluh akan kerasnya dunia. Pada poin ini, Ikha merasa Umar di masa sekarang sudah jauh berkembang dibanding Umar yang ada di masa lalu.

"Barusan rasanya lebih seperti mengikuti kajian dibanding obrolan temu kangen dengan para warga, santai tapi bermakna," puji Ikha.

"Alhamdulillah kalau begitu. Ini juga yang aku pelajari selama di Arab. Salah satu poin yang wajib dipegang oleh setiap muslim apalagi seorang mubaligh adalah membawa kebesaran Allah dalam setiap perbincangan, menghadirkan kesadaran bahwa tiap hal yang terjadi di kehidupan kita ada peran Allah di sana," jelas Umar berusaha merendah.

"Apalagi kalau mengingat wahyu pertama dari Allah yang turun melalui Nabi Muhammad SAW. Kita sebagai manusia diwajibkan membaca, yang dalam artian luasnya bukan hanya sekedar membaca apa yang tertulis tapi juga membaca apa-apa yang tidak tertulis. Salah satu jalan untuk bisa membaca apa yang tidak tertulis adalah sering membicarakan akan kuasa Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dengan begitu, akan tumbuh kesadaran dan setelah kesadaran itu tumbuh, maka kita akan mulai bisa membaca apa-apa saja makna tak tertulis yang ingin Allah sampaikan kepada hambaNya melalui setiap kejadian yang terjadi dalam hidup kita atau orang di sekitar kita."

Ikha tersenyum dan mengangguk setuju dengan apa yang Umar katakan. Keduanya kini sama-sama berjalan menuju masjid, mengingat matahari sudah mulai bergeser dan tak lama lagi adzan Asar akan segera berkumandang.

"Bagaimana keadaan Bunda Alifah?" tanya Umar.

"Sudah lebih baik, beliau sedang istirahat."

"Ikha." panggil Umar. Yang dipanggil sedikit menoleh dan melemparkan tatapan bertanya. "Apapun yang sedang terjadi, jangan pernah merasa kamu sendiri. Ada Allah tempat mengadu, dan pasti akan ada manusia baik yang siap membantu. Kamu harus yakin—"

"Bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melampaui kemampuan hambaNya," sela Ikha.

Umar tersenyum. "Tepat sekali."

"InsyaaAllah aku akan selalu mengingat hal itu. Lagi pula, aku sadar bahwa hidup itu tidak mungkin hanya melulu dipenuhi kebahagiaan, pasti akan ada masa-masa sulit yang harus dilalui. Dibanding berdoa agar hidupku selalu diberikan kebahagiaan, aku lebih memilih berdoa agar aku selalu dikuatkan ketika menghadapi masalah yang datang di kehidupanku. Selama Allah menguatkanku, selama itu pula aku tak perlu ragu bahwa aku bisa menyelesaikan masalah yang ada."

"Memangnya kamu tidak pernah berdoa agar hidupmu dipenuhi kebahagiaan?" tanya Umar.

"Pernah. Dulu sekali, ketika aku belum mengenal tanggung jawab menjadi dewasa. Tapi tidak dengan sekarang. Semakin bertambah umur dan semakin banyak hal yang aku alami, aku jadi sadar bahwa permintaan tersebut terlalu egois dan tidak tahu malu."

"Kenapa begitu?" tanya Umar.

"Sederhana saja alasannya. Aku malu meminta kebahagiaan terus-menerus sementara ibadahku saja tidak terus-menerus. Dengan ibadah yang masih begitu banyak kekurangan saja, Allah tidak serta merta mencabut kenikmatan yang ada padaku sejak lahir. Aku tidak tahu harus diletakkan di mana wajahku kalau terus meminta kebahagiaan sementara ibadah yang aku lakukan ini saja tak ubahnya pedagang yang sedang bertransaksi di pasar."

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang