Suasana dapur dengan dominan warna coklat kayu itu terasa begitu damai dengan adanya kedua wanita yang terpaut usia cukup jauh. Mereka saling berbincang santai bertukar pengalaman hidup. Ikha mendengar cerita pengalaman kerja Irma sebagai seorang single parent bagi Endra, sungguh Ikha merasa kagum dengan wanita berusia 54 tahun itu. Sembari terus mendengar cerita dari Irma, Ikha tetap sibuk mengolah adonan dan menatanya di loyang yang tersedia.Sesekali Ikha melihat Irma sibuk bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, tampak tidak tenang. Ikha memahami raut khawatir yang tercetak jelas di wajah Irma. Jarum pada jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan tanda-tanda kepulangan Endra belum juga terlihat. Ia sendiri juga merasa khawatir, biar bagaimanapun ia juga adalah seorang kakak perempuan, ketika ia sendiri mendapati Hasyim tak segera pulang di jam yang seharusnya tentu menimbulkan rasa khawatir pada diri Ikha.
"Apakah Endra tidak bisa dihubungi?" tanya Ikha.
"Sudah, Nduk. Tapi ponselnya tidak aktif. Biasanya jam segini Endra sudah di rumah, kalau pun terlambat pulang, dia pasti selalu kasih kabar," keluh Irma dengan raut wajah yang resah.
"Apa mungkin baterainya habis? Mungkin juga karena ada pengalihan rute bus, kemarin sedang ada proyek pembangunan jalan raya dan mungkin akan memakan waktu cukup lama untuk selesai. Saya yakin, Endra sebentar lagi pulang," ucap Ikha, berusaha menenangkan.
"Yah, semoga saja—"
Suara ketukan pintu membuat Ikha dan Irma sama-sama menoleh dan saling melempar pandangan. Tidak ada salam, hanya ketukan yang terulang kembali. Irma memutuskan untuk beranjak membuka pintu, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat putranya kembali dengan badan yang penuh luka memar bersama dua orang polisi.
"Ya Allah, Lé! Ada apa kok sampai babak belur begini?" Irma berteriak histeris. Takut sekali melihat kondisi anaknya apalagi rasanya semakin diperparah ketika dua orang polisi mulai menyapa Irma.
"Dengan Ibu Irma? Wali dari saudara Mahendra?"
"B-benar, Pak. Saya Ibunya," jawab Irma gugup. Benaknya mulai dipenuhi dengan berbagai dugaan buruk, sekilas ia menatap putranya garang.
"Kami kemari karena bertugas mengantar saudara Mahendra yang tanpa sengaja menjadi korban tawuran antar geng," jelas polisi secara singkat.
Suasana mendadak semakin kalut ketika Irma tiba-tiba saja merosot lunglai meski tidak sampai pingsan. Namun, tetap saja hal itu tentu menambah kerisauan di wajah Endra dan kedua polisi yang bertugas. Buru-buru Endra membantu Irma berdiri dan membantunya duduk di kursi di ruang tamu. Sorot mata Endra semakin membulat tak percaya ketika dari arah dalam rumah, keluar sosok Ikha yang masih menggunakan apron di tubuhnya.
Ikha panik melihat keadaan Irma. "Tante Irma kenapa?"
"Mb-mbak Ikha? K-kenapa bisa di sini?" tanya Endra gugup. Ada rasa senang, kaget, dan cemas tentu saja.
Ikha terkesiap melihat kondisi Endra saat ini. Banyak perban yang melilit anggota tubuh Endra, luka lebam tercetak dan hampir memenuhi sudut wajahnya. Kedua polisi tadi juga ikut menatap Ikha menunggu wanita itu berbicara. Irma berusaha mengontrol ketegangan dan keterkejutannya. "Oh, saya sekarang bekerja dengan Tante Irma. Baru malam ini mulai kerja."
Setelah beberapa kali menjawab pertanyaan dari kedua polisi dan mendengar nasehat dari mereka, Ikha, Irma, dan Endra baru menghela nafas lega ketika kedua pria tegap berseragam itu mulai meninggalkan rumah sederhana ini. Dengan sigap Ikha langsung menuju dapur dan menyiapkan teh hangat untuk Irma dan Endra, wajah pucat pasi dari Irma masih menunjukkan kalau ia belum sepenuhnya baik-baik saja.
Sementara pemuda yang kini duduk di samping Irma hanya bisa menunduk diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Seluruh kosa kata yang ia siapkan saat perjalanan menuju ke rumahnya guna menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi mendadak hilang seketika, keberaniannya juga seolah menguap tanpa meninggalkan jejak. Jangan tanyakan tentang rasa malu, rasanya kalau bisa Endra ingin tenggelam saja di laut karena kembali dalam keadaan seburuk ini dengan ada Ikha di rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Putih Untuk Zulaikha
Espiritual[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta yang menulis alur kehidupannya. Di sisinya, ada pemuda yang mencintainya dengan hebat lalu diminta San...