1. Kesan Pertama

307 101 186
                                    

Jalanan wilayah Kabupaten Bantul yang terletak di area selatan Provinsi DIY perlahan mulai terasa sepi. Tidak lagi banyak kendaraan pribadi yang berlalu-lalang, selain karena waktu sudah hampir menunjukkan waktu tengah malam, hujan deran yang mengguyur tanah Bantul memang mendukung siapapun untuk bergelung dengan kehangatan di rumah masing-masing. Bisa dipastikan banyak dari penduduk sekitar yang telah berbahagia di alam mimpinya, tak terkecuali dengan wanita berhijab pashmina hitam ini.

Ikha terperanjat saat pundaknya sedikit digoyangkan secara kasar oleh seseorang. "Mbak? Mbak, turun di mana? Ini sudah mau ke halte terakhir, loh."

Wanita yang hampir menginjak usia seperempat abad itu mengerjap cepat, mengumpulkan kesadarannya. Ia menoleh cepat ke kanan dan ke kiri, suasana bus antar kota sudah sangat sepi. Hanya menyisakan dirinya dan seorang wanita paruh baya.

Ikha menatap ke arah kenek bus dan bertanya."Shelter Pasar Berkah sudah lewat jauh, ya?"

Pemuda berseragam khusus itu menoleh dan menjawab. "Iya, mbak. Mbak malah tidur, udah lewat cukup jauh ini."

"Apa masih ada bus yang lewat daerah sini?" tanya Ikha mulai panik.

"Sudah gak ada, Mbak. Ini jam terakhir bus ber-operasional."

Ikha menelan ludah kasar sembari merutuki keteledorannya. Hujan yang masih mengguyur sejak dua hari lalu, membuat wanita bernama lengkap Salsabila Zulaikha Rafaila menjadi lebih sering merasakan kantuk setelah seharian bekerja. Matanya menatap bingung keluar jendela bus, rintik gerimis maghrib tadi telah berganti dengan hujan lebat disertai angin.

Kini bus yang ia tumpangi mulai memasuki daerah yang tidak dikenal olehnya membuat Ikha semakin bingung. Ia buka aplikasi pemesanan ojek online, tapi mengingat uang yang tersimpan di dompet hanya tersisa lima ribu rupiah rasanya tak akan cukup untuk memesan ojek malam itu juga. Apa bayar di rumah saja, ya? Siapa tahu Ibu masih ada uang, 'kan? batin Ikha bimbang.

"Mari Mbak, kita turun dulu," ajak ibu paruh baya yang duduk di sebelahnya.

Untuk kedua kalinya Ikha tersentak dan buru-buru mengikuti ibu paruh baya tersebut. Ikha yang sedang kebingungan juga kedinginan karena tidak membawa payung hanya bisa mengangguk malu saat ditawari mampir ke rumah oleh wanita paruh baya tadi. Berbekal payung yang tidak seberapa besar, Ikha dan Ibu paruh baya tadi bergegas menerjang hujan badai. Keduanya berjalan cepat melewati jalan beraspal yang tak seberapa luas di antara area persawahan yang luas.

"Rumah Ibu tidak terlalu jauh dari sini. Kamu bisa singgah dulu di sana," tawar Ibu tadi.

"Terimakasih banyak, Ibu. Maaf sekali merepotkan anda."

"Tidak apa, lain kali kamu harus hati-hati kalau naik kendaraan umum."

Ikha hanya mengiyakan meski di dalam hatinya ia tidak berhenti memaki diri sendiri. Kini, mereka berdua tidak terlalu jauh dari rumah sederhana dengan cat berwarna hijau yang sudah banyak terkelupas karena faktor cuaca. Belum sampai mereka di depan pintu, seorang pemuda dengan kaus partai dan celana selutut keluar dari rumah tersebut segera berlari kecil menghampiri mereka dengan membawa payung lain yang tampak lebih besar.

"Bunda sudah pulang, mari ... Endra bantu bawakan barang bawaannya."

Ikha sedikit terpesona dengan ketampanan pemuda tersebut, apalagi setelah melihat sikap sopannya dalam menyambut kepulangan Ibunda. Namun, saat tanpa sengaja keduanya saling bertatapan, Ikha justru memalingkan muka dan memasang wajah jutek andalannya.

Ketika mereka sampai di teras rumah. Wanita berhijab merah terang itu segera memasuki rumah sembari mengajak Ikha. "Mari masuk, Mbak. Endra, tolong siapkan teh hangat, ya. Bunda mau ganti baju dulu."

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang