Pada waktu yang sama di lain tempat, Ikha sedang menunggu uang kembalian dari si penjual. Tak berapa lama kemudian selembar uang sepuluh ribu dan lima ribu telah Ikha terima. Kini, wanita yang sedang mendekati fase quarter life crisis itu duduk termenung menimbang kebutuhan mana yang harus ia dahulukan dengan uang semepet ini. Benaknya menampilkan wajah Alifah yang kian pucat dari hari-hari sebelumnya. Ada masa dimana Alifah sehat, tapi tak jarang juga wanita yang hampir menginjak usia enam puluh tahun itu tiba-tiba saja jatuh sakit.
"Ikha!" panggil seseorang. Lamunan Ikha buyar seketika, dan ketika ia menoleh, rupanya ada beberapa ibu-ibu berdaster yang mendatanginya.
"Iya, Bu?" tanya Ikha. Tiba-tiba saja ia merasa cemas. Firasatnya memberikan peringatan tidak baik akan hal ini.
Salah seorang ibu paruh baya duduk di samping Ikha dan mulai bertanya. "Apa benar Bapakmu itu punya hutang sama Kang Petruk? Katanya nominalnya sampai puluhan juta, ya? Buat apa, sih?"
Tepat sesuai dugaan. Inilah hal yang sangat tidak Ikha sukai ketika duduk di antara sekumpulan ibu-ibu penggosip. Selalu saja ada yang dibicarakan dan mayoritas dari topik yang mereka bahas pasti tidak jauh dari membicarakan aib dari masing-masing orang. Ikha tidak suka itu.
Ikha sedikit tersenyum dan menjawab sebisanya. "Saya tidak tahu-menahu, maaf, saya harus pulang. Permisi."
Dalam langkahnya menjauhi kelompok tersebut, Ikha berusaha menulikan telinganya. Ada saat dimana ia berharap Tuhan untuk sementara mencabut nikmatnya yang satu ini, bukan tidak bersyukur, hanya saja, terkadang ketidakwarasan hidup seseorang itu justru bersumber dari perkataan orang sekitar yang terlalu menikam jantung. Seringkali lisan yang tidak mereka kendalikan itu tampak sangat bernafsu untuk menyingkap luka dan duka yang selama ini kita sembunyikan, hanya demi kepuasan rasa ingin tahu.
Ketika Ikha hendak berbelok melewati toko grosir yang khusus menjual kebutuhan sembako, Ikha melihat salah seorang wanita yang kesulitan membawa barang belanjaannya. Ikha terkejut melihat tali tas belanja ibu itu putus, lalu dengan gerakan cepat Ikha membantu menopang tas yang hampir menumpahkan isi barang belanjaan.
"Alhamdulillah," keduanya mengucap syukur secara bersamaan.
Wanita yang ditolong Ikha menoleh dan memandang Ikha, ia tampak terkejut melihat Ikha. "Loh, Nak Ikha?! MasyaAllah, kita ketemu lagi, Nak. Terima kasih sudah membantu Tante, kalau tidak ada kamu pasti sudah pecah semua telur yang Tante beli."
"Sama-sama, Tante Irma," ucap Ikha dengan senyum ramahnya.
Merasa berterimakasih, Irma langsung menarik Ikha untuk duduk sebentar untuk beristirahat. "Es dawetnya dua, Bang," pinta Irma.
Tak lama kemudian Irma mencondongkan tubuhnya ke arah Ikha. "Nak Ikha, Tante boleh minta tolong tidak?" pinta Irma setengah berbisik.
"Minta tolong apa, Tante?" tanya Ikha.
Irma menoleh kesana-kemari lalu berbisik lagi. "Tante mau pesan taksi online, tapi Tante lupa cara pesannya bagaimana. Kamu bisa tolong pesankan untuk Tante? Tenang, hanya pesan saja, kok, nanti tetap Tante yang bayar."
Ikha tersenyum geli dan mengangguk, "tentu saja boleh. Saya kira ingin minta bantuan apa, kok sampai bisik-bisik."
Ikha pun segera memesan taksi online melalui ponselnya sendiri, lalu kemudian memastikan alamat pada Irma. "Tante, ini alamatnya sudah sesuai, 'kan?"
"Betul, Nak. Wah, kamu masih hafal alamat rumah Tante, ya? Ayo kapan-kapan main aja ke rumah Tante," ajak Irma.
"Bagaimana bisa lupa? Kemarin itu pengalaman Ikha yang cukup memalukan, kalau Tante gak tolongin Ikha waktu itu mungkin Ikha pulang jalan kaki," jawabnya tanpa sadar membongkar kebohongannya tempo hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Putih Untuk Zulaikha
Spiritual[SUDAH TERBIT, BAB MASIH LENGKAP] Anak perempuan yang sedang tertatih dalam upayanya untuk terus berusaha, bersabar dan beserah pada Sang Pencipta yang menulis alur kehidupannya. Di sisinya, ada pemuda yang mencintainya dengan hebat lalu diminta San...