23. Pergi Sekarang.

45 23 0
                                    

"Ikha? Boleh aku masuk?" tanya Talitha sembari mengetuk pintu kamar yang masih terkunci.

Perlahan Talitha dengar suara kunci pintu dan pintu terbuka sedikit. Wajah pucat Ikha membuat Talitha khawatir. "Astaghfirullahal 'adziim, kamu kenapa, Kha? Sakit? Aku masuk, ya?"

"Ustadz Harun sudah pergi?" tanya Ikha setengah berbisik.

"Sudah. Lima menit yang lalu dia pergi dari rumah ini. Kamu kenal dengannya?"

Ikha membuka pintu lebar, dan membiarkan Talitha masuk. Meski telah mengetahui bahwa Harun sudah pergi, rasa takut yang Ikha rasakan belum juga hilang, bahkan sekujur tubuhnya gemetar bukan main. Rasanya seperti ia adalah seorang penjahat yang hampir tertangkap polisi. Ikha segera menutup pintu setelah membiarkan Talitha masuk ke kamar. Ada hal yang menurutnya penting, dan harus ia tanyakan pada sahabatnya ini.

Talitha duduk di salah satu kursi kecil di samping ranjang, sementara ia membantu Ikha untuk duduk dengan nyaman di ranjang. Talitha sangat khawatir melihat Ikha yang pucat dan gemetaran.

"Badan kamu dingin banget, Kha. Wajah kamu juga pucat, ada apa?" tanya Talitha. Wanita yang kini menyandang status single mother menggenggam kedua tangan Ikha erat.

Ikha tampak terdiam sebentar. Berulangkali ia menghirup dan menghela nafas, kentara sekali sedang berusaha menenangkan diri. Ditatapnya wajah Talitha di hadapannya, Ikha mulai bertanya. "Maaf jika terdengar tidak sopan, tapi tolong jawab pertanyaanku dengan jujur. Ada hubungan apa antara kamu dengan Ustadz Harun? Aku lihat, Humaira juga tampak sangat mengenali beliau."

Sedikit raut terkejut dapat Ikha tangkap dalam ekspresi Talitha. Namun dengan yakin Talitha segera menjawab. "Dia itu ayah dari mantan suamiku. Kakeknya Humaira."

Seketika itu juga Ikha mengucap istighfar, luruh sudah air matanya. Memang dugaan Ikha tidak sepenuhnya benar, tapi jawaban Talitha barusan tidak berarti menghapus seluruh prasangka buruknya. Talitha yang melihat sahabatnya menangis menjadi kebingungan, ia tidak mengerti apa yang salah dari hal itu. Yang bisa Talitha lakukan hanyalah berpindah posisi ke samping Ikha dan memeluknya.

"Sebenarnya ada apa? Ikha, kamu bisa ceritakan semuanya padaku. Kamu kenal dengan Om Harun?" tanya Talitha makin khawatir.

Disela tangisnya, Ikha berusaha menjelaskan semuanya pada Talitha. "Dia itu temannya Bapakku. Salah satu orang yang paling aku hindari saat ini, selain keluargaku sendiri."

Nafas Talitha tercekat. Kedua tangannya sedikit meremat pundak Ikha. "Apa dia orang yang kamu maksud? Orang yang dijodohkan denganmu, oleh Bapak?" tanya Talitha.

Ikha menggeleng. "Bukan dia. Tapi anaknya, Umar. Dia mantan suamimu?"

Talitha menghela nafas lega. "Aku sedikit lega mendengarnya. Maaf, bukan aku menganggap remeh masalahmu. Tapi setidaknya yang dijodohkan denganmu adalah anak Om Harun yang lain, bukan mantan suamiku."

Ikha mengangkat wajah dan menatap Talitha dengan tatapan penuh tanya. Ia tidak mengerti maksud sahabatnya. Selama belasan tahun Ikha berteman dengan Umar, ia yakin kalau Umar itu anak tunggal. Laki-laki itu tidak memiliki saudara.

"Maksudmu? Umar bukan mantan suamimu?" tanya Ikha kebingungan.

Talitha tersenyum dan menggeleng. "Sepertinya kamu kurang mengetahui latar belakang calon suami dan calon mertuamu. Baiklah, bismillah, aku akan menceritakan semua yang aku tahu. Bukan dengan tujuan menjelekkan nama baik seseorang, tapi menurutku kamu juga perlu tahu latar belakang mereka."

"Dulu, aku memang pernah bercerita padamu kalau aku dijodohkan dengan seseorang. Perlu kamu tahu, orang itu bernama Faizal Abdul Hakim. Ini fotonya," ucap Talitha sambil menyodorkan ponselnya. Di sana Talitha melihat sebuah foto yang menampakkan Humaira ketika masih bayi dalam gendongan seorang pria yang tidak Ikha kenali.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang