13. Amarah Harjono

74 35 3
                                    

"Endra! Tunggu! Kiosnya di sebelah sana!" Dengan susah payah menyela keramaian, akhirnya Ikha berhasil menyamai langkah Endra dan menarik lengan seragam Endra. "Kamu itu kenapa, sih?! Sejak turun dari bus tingkahmu aneh! Kesiniin kotak kuenya! Aku bisa bawa sendiri!"

Ketika hendak meraih kotak kue, Endra langsung menahan pergelangan tangan Ikha. Masih sama seperti sebelumnya, ia berbicara dengan nada datar dan raut wajah yang suram. "Aku lagi cari jalan cepet biar sampai ke kios."

"Cari jalan cepat gimana?! Yang ada ini semakin jauh!" marah Ikha.

Ikha berhasil merebut susunan kotak kue yang ada pada tangan Endra. "Sudah, biar aku saja yang urus! Ini sudah jam enam lewat, kamu lebih baik segera berangkat ke sekolah. Jarak sekolahmu 'kan jauh, dan kamu tidak menggunakan kendaraan pribadi, jadi lekaslah ... oh, ini buat nambah ongkos ke sekolah."

Ikha menyelipkan uang lima belas ribu ke saku baju seragam Endra dan segera bergegas meninggalkan Endra terbengong melihat perlakuan Ikha padanya. Rasanya cukup rumit bagi Endra untuk menjelaskan perasaannya sendiri saat ini. Dia ingin ikut Ikha menghantarkan kue sekaligus penasaran dengan penjual ikan laut yang dimaksud bapak tadi, naluri bersaingnya menegaskan bahwa ia harus tahu seperti apa pria yang akan ditemui Ikha nanti. Tentu saja, jangan sampai ia kalah aksi dengan pria tersebut.

Di lain sisi, Ikha pasti akan marah kalau tahu ia malah sedang mengikuti aktivitasnya, apalagi ini sudah waktunya Endra berangkat sekolah. Perkiraan waktu menggunakan bus umum untuk sampai ke sekolah adalah kurang lebih tiga puluh sampai empat puluh menit. Ia tak mungkin terlambat kalau berangkat sekolah sekarang.

"Ah, bodo amat! Aku harus tahu cowok seperti apa yang akan Mbak Ikha temui di pasar."

Begitu tiga langkah mendekati area pasar, Endra kembali berhenti.

"Tapi nanti kalau ketahuan Mbak Ikha terus dia marah, merasa curiga dengan kelakuanku, kemudian merasa tidak nyaman, nanti Mbak Ikha malah menjauh. Nanti Mbak Ikha marah, tidak mau bertemu lagi denganku dan parahnya kalau sampai Mbak Ikha berhenti kerja sama Bunda, wah gawat kalau sampai seperti itu."

"Gawat banget itu," ucap seseorang membenarkan gumaman Endra.

Endra terlonjak kaget dan ketika ia berbalik, rupanya orang itu adalah sahabatnya sendiri, Bobby. Endra mendengus kesal melihat Bobby tersenyum mengejek dan lebih seperti menahan tawa sambil memperhatikan penampilannya dari atas sampai ke bawah.

"Biar kutebak, kamu kena hajar geng sekolah lain, ya?" terka Bobby, garis senyum yang sarat akan ejekan sukses memancing emosi Endra.

"Tck, kalau sudah tahu kenapa tanya?" ketus Endra.

Sesuai dugaan. Bobby menertawainya. Persis seperti yang ia katakan kemarin sore. "Kan apa sudah kubilang, jangan pulang lewat malam, apalagi motormu aku yang bawa. Sekarang gimana? Enak gak kena bogem rame-rame?"

Endra hanya mendengus kasar dan berjalan keluar pasar. Kedatangan Bobby semakin membuat Endra ragu untuk ikut masuk ke dalam pasar mencari Ikha. Apalagi mulut sahabatnya yang satu ini sangat sulit untuk dikontrol.

"Anterin sekolah sekarang!" pinta Endra.

"Lah, gak jadi menjalankan misi, bro?"

"Misi apaan?"

"Misi menjaga pujaan hati dari pria tak dikenal, ntar kalau ternyata di pasar ada yang godain crush-mu gimana?"

"Lebih gak aman lagi kalau Mbak Ikha tahu aku gak segera berangkat sekolah. Bisa-bisa dia marah besar terus gak mau ngomong sama aku, itu lebih seram. Apalagi sekarang ada kamu."

"Loh, apa hubungannya sama aku?"

"Mulutmu gak ada remnya," ketus Endra, dia dengan santai duduk di kok motor sembari menunggu Bobby.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang