22. Ketahuan.

45 23 1
                                    

Pintu kamar telah Ikha kunci, namun jantungnya tetap saja berdetak tidak karuan. Tamu yang datang ke rumah Talitha membangkitkan lagi kepanikan yang baru saja surut beberapa menit yang lalu. Kakinya tak lagi kuat berdiri menopang berat tubuhnya, Ikha duduk memeluk lutut sembari terus membisikkan harap agar orang itu segera pergi tanpa menyadari keberadaannya di rumah ini.

Ikha terus bergumam dan diiringi rasa penasaran yang meningkatkan kegelisahannya. "Bagaimana mungkin Ustadz Harun ada di sini? Humaira tampak sangat mengenali Ustadz Harun dan sangat senang dengan kedatangannya. Ada hubungan apa Talitha dengan Ustadz Harun?"

"Tidak."

"Tidak mungkin 'kan kalau Ustadz Harun adalah ayah dari Humaira? Mantan suami Talitha?"

Ikha menggelengkan kepala berulang kali. "Tidak. Tidak. Tidak. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu, Kha. Mungkin Ustadz Harun ini adalah kenalannya Talitha, ya, mungkin seperti itu," monolognya meyakinkan diri.

Bermenit-menit Ikha duduk memeluk lutut membuat dugaan yang muncul semakin beragam, rasanya semakin gelisah. Ikha kemudian mengambil posisi duduk bersila dan meraih tasbih elektrik miliknya. Lisannya terus memperbanyak dzikir sembari sesekali mengatur nafas guna menetralkan kegelisahannya. Satu yang ia tetap harapkan. Semoga Ustadz Harun tidak menyadari keberadaanku di rumah ini.

Sementara itu, di ruang baca Humaira. Humaira tampak asyik berlagak menceritakan isi dari buku dongeng yang ia pegang, sementara Harun terlihat antusias mendengarkan celoteh si kecil.

Harun merasa gemas melihat tingkah lucu Humaira dan langsung memeluknya erat, diciumnya pipi bulat Humaira dan ia puji kemampuan cucu pertamanya. "MasyaAllah... cucu Kakek memang yang terbaik! Sudah bisa baca sebanyak ini, ya? Kamu pasti rajin belajar, bagus! Bidadari kecil kakek berhak mendapatkan hadiah!"

"Hadiah? Kakek bawa hadiah? Mana, mana, mana?" tanya Humaira sangat antusias.

"Kakek belum bawa hadiah, hadiahnya masih di toko. Humaira mau ikut Kakek, ambil hadiah tidak?"

"MAAAUUUUU!"

"Tidak!!"

Bersamaan dengan teriakan penuh semangat dari Humaira, Talitha muncul masih dengan apronnya tampak tidak setuju dengan ide tersebut. Talitha melangkah mendekati Humaira dan langsung merebut Humaira pangkuan Harun dan menggendongnya. Aksi Talitha barusan diartikan oleh Harun sebagai bentuk ketakutan dari mantan menantu.

Harun tersenyum dan mulai berdiri. "Kenapa? Humaira pasti bosan di rumah, apa salahnya aku membawa cucuku pergi membawa beberapa barang kesukaannya?"

"Ini jadwal Humaira makan, biar dia makan dulu. Lagi pula, di luar cuaca sedang mendung. Akhir-akhir ini juga sering hujan, Humaira baru saja sembuh dari flu. Dia belum boleh sering-sering keluar rumah," jelas Talitha. Suaranya mendadak menjadi tegas, raut wajahnya juga tampak tegang.

"Bukankah Humaira sudah sembuh dari minggu lalu? Dia juga sudah mulai bersekolah, 'kan? Kenapa kamu se-khawatir itu?"

"Justru itu. Karena Humaira sudah mulai bersekolah, dan ada banyak kegiatan yng ia lakukan, maka sekarang sudah saatnya anakku istirahat di rumah. Terlalu banyak aktivitas di musim penghujan seperti ini akan membuat daya tahan Humaira lebih cepat turun. Saya mohon pengertiannya."

Talitha mulai berjalan keluar dan meninggalkan Harun sendiri. Dibalik seluruh alasan yang ia kemukakan ia tidak menampik fakta bahwa ada gelenyar kekhawatiran ketika ia mendengar Harun akan mengajak Humaira keluar. Hakim yang menangani permasalahan hak asuh memang sudah memutuskan bahwa Humaira akan berada di bawah asuhan dirinya.

Meski begitu, beberapa kali ia mendapati mantan suaminya menjemput Humaira di sekolah tanpa memberitahunya, dan tak sedikit halangan juga alasan yang Talitha dapatkan ketika hendak menemui Humaira. Permasalahan hak asuh anak memang selalu menjadi topik yang sensitif antara Talitha dan keluarga dari mantan suaminya.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang