16. Mendadak Dilamar.

66 34 3
                                    

Awan kelabu di langit kota jogja tampak semakin pekat menggantung. Angin malam yang semula terasa sejuk perlahan mulai menggemeretukkan gigi. Ikha merapatkan jaketnya sembari menunggu Talitha mengambil motornya. Ikha bolak-balik membuka room chat dia dengan Alifah. Pesannya tak juga kunjung dibaca oleh Alifah. Entah kenapa perasaan Ikha menjadi kian gelisah.

"Ayo, Kha," ajak Talitha.

Ikha menoleh dan melihat Talitha tengah menyodorkan helm padanya. Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih di cafe, Talitha melarang Ikha pulang sendiri. Ia menawarkan diri untuk mengantar Ikha pulang. Tak ingin membuang waktu lebih lama, Ikha akhirnya memakai helm dan membonceng pada Talitha.

"Makasih banyak, ya, Talitha."

"Sama-sama. Ini sudah seharusnya, aku yang memaksamu untuk duduk mendengarkan keluh kesahku. Jadi, sudah seharusnya aku juga yang mengantarkanmu pulang," ucap Talitha. Keduanya kini menembus jalanan syahdu kota pelajar dengan damai. "Omong-omong, bagaimana kabar Umi Alifah? Sehat, 'kan?" tanya Talitha.

Awan mendung tak hanya mulai menggantung di langit Jogja, tapi kini juga mulai menyelimuti hati Ikha. Namun, dengan penuh rasa percaya kepada takdir, Ikha menjawab dengan tenang. "Alhamdulillah, Ibuku sedang dalam masa pengguguran dosa dengan asbab sakit. Doakan saja semoga Ibuku lekas melewati masa ini, dan bisa beraktivitas kembali."

"Lagi sakit kok alhamdulillah, sih, Kha?" tanya Talitha tidak mengerti.

"Ibuku selalu mengajarkan untuk mensyukuri segala sesuatu yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Termasuk rasa sakit," ucap Ikha.

"Ibu juga selalu mengingatkanku untuk memandang rasa sakit sebagai bentuk kasih sayang dari Allah. Katanya, tiap-tiap penyakit yang kita derita itu harus dipandang sebagai sapaan dari Allah kepada kita," jelas Ikha.

Talitha sedikit mengangguk namun kembali menanyakan hal yang masih tidak ia mengerti. "Aku faham dengan pendapat bahwa rasa sakit adalah bentuk kasih sayang dari Allah, karena bisa jadi dari rasa sakit itu Allah gugurkan dosa kita. Tapi mengapa rasa sakit juga merupakan sebuah sapaan dari Allah?"

Ikha kembali menjelaskan. "Sebab, dengan nikmat kesehatan yang dicabut dari diri kita, Allah sedang mengingatkan bahwa jarak kita dengan kematian itu sangatlah dekat. Bukankah manusia itu sering lupa bahwa kematian itu bisa terjadi kapanpun, dimana pun, dan disaat apapun? Karena itulah, penyakit yang datang pada kita adalah salah satu bentuk sapaan Allah kepada kita sebelum Allah memberikan kembali nikmat sehat atau mengutus malaikat izrail untuk menjemput kita."

"MasyaAllah ... sebegitu indahnya, ya, ajaran islam. Selalu mengajarkan setiap pemeluknya untuk memandang segala sesuatu yang terjadi di dunia dengan kaca mata positif."

"Benar. Jauh sebelum manusia jaman sekarang mengajarkan afirmasi baik kepada diri kita, Allah dan Rasulnya sudah lebih dulu mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik."

🌷🌷🌷

Tidak terasa akhirnya mereka telah sampai di rumah Ikha. Rumah setengah yang dibangun dari setengah batako dan anyaman bambu tersebut tampak sepi. Lampu di bagian teras juga tidak menyala. Gelenyar kegelisahan semakin bergemuruh di dada. Dengan tak sabar, Ikha melangkah cepat meninggalkan Talitha yang masih berada di atas motor.

Ikha membuka pintu yang terkunci dengan kunci cadangan yang selalu Ikha bawa. "Assalamualaikum!"

Tidak ada jawaban. Lampu ruang tamu juga tidak menyala. Talitha yang melihat gelagat tidak wajar dari sahabatnya pun ikut turun dari motor dan memasuki rumah Ikha yang dalam kondisi gelap. Didorong rasa khawatir, Talitha pun nekat masuk lebih dalam dan mengikuti langkah Ikha.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang