10. Serangan Mendadak.

72 37 10
                                    


Selepas menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, Ikha kembali bersujud guna mengucap syukur. Hatinya bergetar tatkala bulir air matanya menetes membasahi sajadah yang ia gunakan. Sungguh, jika bukan karena kuasa Allah yang bermain dalam setiap lika-liku kehidupan hambaNya, maka mustahil Ikha bisa mendapatkan kepercayaan semudah dan segamblang itu. Bermenit-menit kemudian Ikha masih menangis haru menyaksikan kerja Tuhan yang begitu menakjubkan. Kecintaannya terhadap isi surat Al-Insyirah semakin membuncah seiring berjalannya waktu.

Usai memuji Tuhan dengan segala keagunganNya. Ikha bergegas menuju dapur, meninggalkan Alifah yang masih setia duduk bersimpuh sambil menggulir bini-biji tasbih. Dengan lihai, Ikha mulai menghaluskan bawang putih, kemiri, dan sedikit lada juga secuil kunyit. Sembari terus menghaluskan bumbu, lisannya tak lekang dari menggumamkan surat Al-Kautsar sesuai dengan yang pernah Ikha pelajari semasa di pesantren dulu. Empat puluh menit kemudian sudah tersaji nasi putih hangat beserta sayur terik tahu dan telur puyuh kesukaan Alifah. Khusus untuk Alifah, Ikha dengan telaten membuatkan bubur. Biasanya jika sedang tidak enak badan, Alifah lebih memilih bubur dibanding nasi.

Melihat Alifah telah selesai berdzikir dan mengaji Al-Qur'an, Ikha segera mengajaknya untuk makan bersama. Lupakan tentang Harjono dan Hasyim, mereka terlalu sering mengabaikan jam makan malam, hingga Ikha dan Alifah hampir pasti tak lagi merasakan kehangatan suasana di meja makan bak keluarga bahagia pada umumnya. Kini, pada suasana yang tenang, Ikha mengutarakan keinginannya untuk menerima tawaran pekerjaan dari Irma. Alifah mendengarkan dengan sesama, meski gurat keraguan sedikit mewarnai wajah Alifah yang ayu.

Ikha terdiam sebentar, menilai ekspresi dari wanita yang mulai meletakkan sendoknya. "Ibu tidak setuju, ya?" tanya Ikha ragu.

"Bukan tidak setuju, Kha. Ibu senang kalau akhirnya kamu bisa dapat peluang pekerjaan di bidang yang memang kamu senangi sejak dulu. Tapi, bukankah itu artinya kamu akn semakin sibuk? Ibu khawatir badanmu akan mudah jatuh sakit sebab terlalu ditekan banyak pekerjaan. Kemudian, siapa yang akan menjemputmu nanti di sana? Ibu ragu kalau Bapakmu bersedia mengantar dan menjemputmu."

Ikha ikut terdiam memikirkan hal ini, namun tekad dalam diri Ikha sudah tak terbendung lagi. Besar firasat Ikha bahwa memang inilah kesempatan besar yang Allah berikan padanya. Apalagi ketika mengingat sedari dulu lamaran pekerjaannya di berbagai kafe dan restoran selalu saja gagal. Kini setelah beberapa tahun berlalu ia justru mendapatkan langsung tawaran pekerjaan di bidang yang ia impikan. Meski bukan bekerja di sebuah kafe atau restoran, tapi setidaknya Ikha mendapatkan peluang pekerjaan yang dirasa cukup fleksibel mengingat jadwal Ikha sendiri sudah cukup padat.

Ikha berusaha meyakinkan Alifah. "Setiap pekerjaan pasti memiliki resikonya, Bu. Tapi menurut Ikha, resiko dari pekerjaan ini sedikit lebih kecil dari pekerjaan lain."

"Ikha sudah kenal dengan Tante Irma, meski belum lama saling mengenal yang jelas beliau pasti orang baik. Usaha yang Tante Irma geluti juga masih termasuk usaha rumahan. Selain bekerja, Ikha punya peluang belajar lebih banyak dengan Tante Irma. Beliau sendiri bilang kalau siap untuk membimbing Ikha jika ada beberapa kesalahan. Mungkin untuk malam ini Ikha memang harus menginap di sana kalau Bapak tetap tidak mau menjemput."

Dapat Alifah dengar kesedihan di kalimat terakhir Ikha. Tangan Alifah terulur merangkul Ikha dan memberi pelukan hangat. Kedua bibir tipis Alifah tidak lelah terus mendoakan yang terbaik untuk Ikha.

"Ibu tidak bisa melarangmu dengan semua mimpimu. Ibu sendiri bahkan tidak mampu memberi modal mengejar cita-citamu, oleh karena itu ketika kesempatan ini datang, Ibu insyaaAllah memberi izin. Doa Ibu selalu untuk Ikha. Jadi berjuanglah, manfaatkan kesempatan ini, tetap jaga sholat, ya, Nak."

Ikha tersenyum lebar lalu memeluk Alifah. "InsyaaAllah, Bu. Terima kasih, ya."

Ikha melepas pelukan dan kemudian tampak asyik mengutarakan mimpinya. "Siapa tahu, ya, Bu? Kalau nanti ternyata justru Ikha bisa buka toko roti sendiri? MasyaAllah banget, deh. Ikha bayangin rumah ini bakalan penuh sama aroma kue, terus di teras depan dibangun satu ruangan kecil untuk menjajakan berbagai macam kue. Ada kue kering dan basah, kalau perlu ada berbagai macam jajanan pasar biar para tetangga gak perlu jauh-jauh ke pasar, bisa langsung beli di rumah kita saja."

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang