14. Rasa Bersalah Alifah

68 36 2
                                    

"N-nak, I-ibu ngompol."

Bisikan parau Alifah terasa lebih menyakitkan daripada tamparan Harjono sebelumnya. Ikha merasa ada sengatan yang menyerang relung dadanya. Tangan yang terbiasa mengangkat beban berat ketika bekerja mendadak menjadi sangat tak berguna di situasi semacam ini. Ikha menganggap ini adalah kesalahannya, ia merasa lalai hingga kejadian semacam ini bisa terjadi.

"Tidak apa. Tenang, biar tuntas keluarnya, Ibu. Jangan panik dan tidak perlu buru-buru," ucap Ikha, intonasi bicaranya begitu lembut, berbanding terbalik dengan intonasi ya beberapa detik yang lalu.

"Lantainya kena najis," ucap Alifah. Kepanikan tercetak jelas pada raut wajah dan nada bicaranya.

Ikha tersenyum tenang. "Tidak apa-apa, Ibu. Jangan panik."

"Astaghfirullahal 'adziim. Kaki Ibu tadi lemas sekali, Nak," keluh Alifah.

"Iya, Bu. Ikha faham. Maafin Ikha, ya, Bu. Tadi kurang sigap membantu memapah Ibu ke kamar mandi."

Alifah tak menjawab, ia hanya menggeleng dengan mata yang berkaca-kaca. Ikha tetap berada di samping Alifah sampai beberapa menit kemudian, tangan Alifah semakin dingin dan bulir-bulir keringat memenuhi wajah hingga lehernya. Kondisi Alifah tampaknya tak kunjung membaik setelah kejadian kemarin. Ikha menjadi sangat khawatir

"Bu, setelah ini ke puskesmas, ya?" bujuk Ikha.

Alifah menggeleng kuat. "Tidak usah. Ibu cuman sakit biasa, ini kaki ibu saja yang mendadak lemas. Besok juga sudah baikan."

Ikha ingin memaksa Alifah, namun sudah lebih dulu disela Harjono. "Tidak usah berlebihan! Sakit sedikit aja langsung berobat ke dokter, puskesmas, rumah sakit. Nanti jadi ketergantungan sama obat!"

Tidak ingin kembali mengulang pertengkaran, Ikha akhirnya memilih diam. Kondisi Alifah saat ini jauh lebih penting dari segala hal termasuk bertengkar dengan Harjono. Segala sumpah serapah yang sudah berada di ujung lidah ia paksa telan kembali. Rasa sakit itu menjadi semakin berkali lipat ketika Ikha justru melihat Harjono pergi begitu saja dari rumah. Suara deru motor lawas Harjono terasa begitu memekakkan telinga. Sungguh, manusia tidak bertanggung jawab!

"Sudah selesai, Bu?" tanya Ikha pelan yang dijawab anggukan pelan oleh Alifah.

Dengan dibantu oleh Ikha, Alifah melepaskan pakaiannya yang kotor. Ikha bergerak cepat dengan menyediakan kursi pendek dari kayu di dalam kamar mandi, lalu memapah Alifah berjalan menuju kamar mandi. Setelah Alifah duduk, baru Ikha mengambilkan pakaian ganti dan membantu Alifah membersihkan diri.

Seusai membantu Alifah, Ikha segera mengambil kain pel dan ember yang berisi air bersih. "Ibu, tolong tunggu sebentar, ya? Ikha mau bersihkan lantai kamar dulu."

Alifah mengangguk pelan. Selepas melihat Ikha dengan telaten membersihkan najis yang disebabkan olehnya, Alifah meneteskan air mata. Dirapatkannya kedua bibir menahan isak tangis yang sudah memberontak ingin disuarakan. Tangan dan kaki Alifah bergetar bukan karena kedinginan, dan sayangnya Ikha tak menyadari hal itu.

Begitu banyak rasa sakit yang ia terima dan penyesalan yang luar biasa. Alifah merasa telah menjadi manusia paling gagal di muka bumi. Ia merasa gagal menjadi istri yang berbakti dan tidak pantas dicintai pun ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Lihat saja, detik ini ia justru lagi-lagi memberi beban pada putri sulungnya. Alifah tentu dengar seluruh pertengkaran Ikha dengan Harjono pagi ini, dan hal itulah yang kian mengiris hatinya.

Secara sadar Alifah menyadari beban yang harus ditanggung oleh Ikha. Beban ekonomi keluarga yang menyangkut pendidikan Hasyim, hutang Harjono, nafkah bulanan, belum dengan tudingan keji dari berbagai pihak yang seolah tidak ada habisnya. Alifah melihat semua hal itu  telah secara sadis bertengger di pundak kecil Ikha. Sungguh Alifah tak sampai hati jika harus melihat putrinya merawat ia yang sudah mulai renta dan dihinggapi banyak penyakit.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang