5. Jangan Jatuh Cinta

102 52 8
                                    

Hampir satu jam Endra menanti di salah satu bangku sepanjang trotoar. Swalayan tempat Ikha bekerja sudah tutup sejak tadi, namun hingga kini Endra masih belum melihat sosok Ikha keluar dari swalayan tersebut. Sudah ada empat kotak susu yang kosong, dan di tangannya telah tercipta satu sketsa indah berupa wajah cantik Ikha. Terkadang Endra berdecak kesal kala mendapati kecacatan dalam sketsanya, dan dengan sigap jemarinya merapikan hasil karya tersebut.

"Hufft...mau dibenahi seperti apapun, hasilnya tidak bisa secantik orangnya. Memang ciptaan Tuhan yang satu itu gak ada saingannya," gumam Endra.

Ruang rungu Endra mendadak begitu tajam begitu ada beberapa karyawan yang melewatinya, kebanyakan dari mereka menggunakan motor pribadi. Ia buru-buru menyimpan sketchbook miliknya ke dalam tas dan sesekali memperbaiki gaya rambutnya.

"Udah oke belum, ya? Aku gak buluk banget, 'kan? Jelas enggak, anak dari Bunda Irma gak mungkin jadi produk gagal," gumam Endra percaya diri.

Endra langsung berdiri ketika netranya mendapati wanita dengan kerudung pashmina syar'i itu keluar bersama salah satu temannya. Senyum Ikha yang diterangi lampu jalan seperti menghantarkan satu getaran hebat bahkan mampu membuat Endra kembali terduduk. Pemuda itu menunduk dalam sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa panas kembali merayapi wajah tampan Endra, dan bisa dipastikan wajahnya sudah hampir semerah tomat.

"Kamu masih di sini? Bukannya tadi sudah kubilang kalau aku akan pulang sedikit lebih lama?"

Endra tidak langsung mengangkat wajahnya, ia masih sangat malu. Tidak, tidak, tidak! Kenapa malah nyemperin aku, sih?! Sekarang harus gimana? Wajahku pasti merah banget ini!

"Endra? Kamu tidur?" tanya Ikha. Gelengan cepat menjadi jawaban bagi pertanyaan Ikha.

Bodoh banget! Harusnya jangan dijawab! Sekalian aja pura-pura pingsan, kalau gini 'kan aku yang bingung harus gimana?!

"Ini sudah jam sepuluh malam, loh. Nanti kalau Tante Irma nyariin kamu gimana? Besok juga masih harus sekolah, 'kan?"

Tiba-tiba Dina yang datang dari arah belakang menyela, "Ikha! Lihat itu, bus terakhir sudah mau sampai halte. Ayo buruan!"

Mendengar hal itu, baik Endra maupun Ikha sama-sama menoleh ke arah yang ditunjuk Dina. hal tersebut sontak membuat Endra berdiri lalu menarik tangan Ikha untuk berlari menyusul Dina yang sudah lebih dulu berlari menuju halte. Ikha yang sama sekali tidak mengerti dengan sikap Endra hanya bisa diam dan ikut berlari bersamanya, sesekali Ikha juga melirik ke arah pergelangan tangannya yang digenggam oleh Endra.

Beruntung jarak mereka dengan halte tidak terlalu jauh hingga akhirnya mereka bertiga bisa sampai di halte tepat ketika bus itu datang. Namun hal tersebut tak juga membuat rasa malu Endra berkurang, sebab pada saat yang sama ternyata Endra tidak memiliki uang untuk membayar tiket bus. Uangnya sudah habis untuk membeli susu kotak dan camilan saat menunggu Ikha tadi, sekarang hanya tersisa selembar uang dua ribu. Memalukan!

Beruntung sekali Ikha dengan baik hati meminjamkan kartu khusus penumpang bus pada Endra sehingga pemuda itu tetap bisa ikut naik. Dalam hati, Endra tentu tak bisa berhenti memaki kecerobohannya yang satu ini. Untuk yang kedua kali Endra merasa image-nya hancur di hadapan wanita yang ia sukai. Jangan ditanya bagaimana kondisi wajah Endra sekarang, rasanya akan sulit membedakan wajah Endra dengan udang goreng.

"Endra, kamu sakit?" tanya Ikha khawatir. Sedari tadi ia melihat wajah Endra yang gelisah dan sedikit berkeringat.

Endra menggeleng pelan, buru-buru ia memalingkan muka agar tidak dilihat Ikha. Dalam sekejap hilang sudah semua keberaniannya yang ia kumpulkan untuk berhadapan dengan Ikha. Padahal ia sudah merasa berhasil bersikap keren di meja kasir dengan mengajaknya pulang bersama.

Mawar Putih Untuk Zulaikha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang