Sesi kedua ujian Chunnin telah selesai dan kami harus menunggu tiga bulan untuk sesi ketiga nya.
Dalam tiga bulan ini aku terus berlatih. Hingga tak terasa sesi ketiga ujian Chunnin hanya tinggal beberapa hari lagi.
Selama ini aku terus berjalan di jalan ku dengan bayang-bayang dirinya. Jujur saja, aku tidak memiliki arah tujuan hidup. Terlalu banyak hal yang ku lewati dan ku rasakan, juga terlalu banyak hal yang kulihat.
Aku melewati masa-masa peperangan, aku merasakan perubahan waktu, dan aku melihat banyak kehidupan serta... kematian.
Terlalu banyak hingga aku terkadang memikirkan, aku ini apa? Apa tujuanku sekarang? Sampai kapan aku harus menunggu? Dan bahkan saat ini aku hanya hidup dengan mengikuti alur saja.
Selama hidupku, aku hanya sendirian. Tidak benar-benar sendirian, namun hanya beberapa yang tahu keberadaan ku, hanya beberapa yang tahu rahasia terbesar ku, yang bahkan dapat dihitung jari. Dan kini hanya tersisa seorang saja.
Di saat ini, sudah satu tahun aku menjadi Genin, itu berarti sudah satu tahun pula aku berada di tim sembilan bersama Ryuji serta Gin. Sifat mengantuk Yura-sensei juga sudah mulai berkurang meskipun masih sering tertidur di sembarang tempat dengan posisi anehnya.
Lalu berbicara tentang hubungan pertemanan, aku mendapatkan banyak teman. Mulai dari Naruto yang heboh, Sakura dan Ino yang selalu bertengkar namun terkadang kompak, Hinata yang pemalu, Sasuke dan Shino yang dingin dan datar, lalu Shikamaru si jenius pemalas, Kiba yang lucu, Chouji yang hobi makan.
Aku juga mendapat teman baru yaitu Lee, Neji dan Tenten, yang baru kukenal sesaat setelah sesi dua kemarin. Dan mereka satu tahun berada di atas angkatan ku.
Jangan lupakan juga dengan Ryuji dan Gin. Ryuji memiliki sisi yang lembut namun terkadang tegas, dan sedikit panikan. Sementara Gin yang ekspresif dan membara.
Tetapi saat ini Ryuji dan Gin tidak akur. Lalu Gin juga menjadi bersikap kasar baik perbuatan maupun perkataan apabila berhadapan dengan Ryuji. Apakah rasa iri sehebat itu hingga dapat merubah seseorang?
Aku menghela nafas lalu menatap langit senja yang indah. Hembusan angin terus terasa di kulit ku, juga rambut panjang ku yang melambai tertiup angin. Sore ini aku terduduk di tempat tertinggi Konoha, di atas tebing pahatan patung Hokage. Dari tempat ini, setiap bangunan serta aktifitas penduduk di luar ruangan dapat terlihat walau tidak terlalu jelas.
Dan dari tempat inilah, sebuah ucapan harapan akan masa depan akhirnya dapat terwujud. Aku kembali menghela nafas lalu memejamkan mataku. Mengingat kenangan indah itu.
"Kheh. Hanya kau yang berbicara omong kosong ini."
"Lalu bagaimana menurutmu? Mirei bagaimana?"
"Yah, sepertinya tidak buruk."
"Aku setuju! Kalian pasti bisa mewujudkan itu!"
"Ha? Mengapa 'kalian'? Mirei juga ikut! Dan itu adalah 'kita'!"
"Baiklah. Baiklah."
"Kalau begitu, sudah diputuskan!"
Mataku terasa panas dan sesaat kemudian tumpah mengalir. Kubiarkan air mata itu menuruni wajahku. Ah, perasaan ini lagi. Perasaan rindu, bahagia, sedih, haru menjadi satu. Lalu, sudah berapa lama aku tidak... Menangis?
"Aku merindukan kalian..."
"Sampai kapan kau akan duduk disana?" Pertanyaan seseorang membuatku sedikit tersentak lalu menoleh cepat ke belakang.
Dengan segera ku usap air mataku "Ah, Ryuji.."
Ryuji duduk disebelah ku "Tidak apa, menangislah Mirei, keluarkan semuanya. Tidak usah pedulikan aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Reise
FantasyIa sudah mati. . . Atau setidaknya itu yang seharusnya terjadi. Namun ia terbangun dengan tubuh yang kembali menjadi seorang gadis berusia 10 tahun. Tidak hanya itu saja. Tubuhnya bahkan tidak beranjak dewasa walaupun bertahun-tahun berlalu. Dan ini...