Day 9: Buatlah cerita dengan tema makanan/minuman favorit kalian dengan tokoh utama kebalikan dari gender kalian
Kudu cepet!
Lala lari secepat mungkin biar buruan sampai ke kantin incaran. Ini gara-gara Miss Like dan segala kerempongannya. Paling anti emang ngeliat anak didik berbahagia mendapat jatah istirahat teng! sesuai jadwal.
Bukan cuma Lala, sekelas sih pengennya protes, tapi kok ya takut. Soalnya Miss Like masuk jajaran guru killer bertatapan kapak yang sanggup membelah kulit duren sekali empas. Jadinya Lala dan temen sebangsa senegara sekelas cuma bisa ngegerutu dalam hati doang mah ya.
Masalahnya tuh Lala lupa pesen ke kantin langganan biar disisain apa yang dia mau makan pas istirahat. Nggak ada sistem chat booking soalnya yang jaga kantin buta teknologi. Pokoknya mah ya siapa yang dateng terus mesen, ya bakal disisain. Kalau nggak mesen? Ambyar, Sobat! Seringnya kehabisan.
"Bik!" Lala tereak lantang pas nyampe depan pintu kantin. Bikin beberapa orang yang lagis santai jado terkejut jiwa raga. "Nasi goreng! Masih ada kan?"
Kantin sekolahan mereka emang style-nya ala-ala barak gitu, wak. Ada enam kantin yang selalu rame pas jam istirahat. Nah, inceran Lala ini kantin nomor dua dari kiri.
"Abis, Sayang." Bibik Kantin ngangkat bahu. "Lagian biasanya kamu mesen dulu pas sebelum jam masuk. Kirain pindah langganan ke sebelah."
Lala langsung nelangsa. Mana dia nggak sarapan lagi sebelum berangkat. Nasi goreng incaran telah ludes abis terjual. Berasa jatuh terus ketimpa tangga plus cempedak di atas kepala sampe benjol.
Awalnya sih Lala mau lesu letih lunglai terbaring di lantai sebelum matanya nangkep ada sebungkus nasi goreng tergantung di tempat biasa punya anak-anak yang booking duluan. "Itu buat Lala aja, ya?"
"Nggak bisa lah." Bibik Kantin duduk santai abis ngelayanin pembeli barusan. "Punya orang itu."
"Lima menit lagi juga masuk elah, Bik," Lala menego. "Buat Lala aja lah itu."
"Nggak bisaaa!" sahut Bibik Kantin. "Ngeyel kali kau kutengok ya, Darleng."
"Belum sarapan nih, Bik," keluh Lala sambil manyun. "Bibik tega kah melihat Lala yang lucu imut menggemaskan ini kelaparan?"
"Lucu kau begitu? Mau muntah aku tengoknya."
"BIBIK MAH!"
"Nggak! Punya laki itu. Dihantamnya nanti kalau aku kasih ke kau."
Cowok? Tumben bener ada cowok yang booking nasi goreng di sini, pikir Lala. Soalnya hampir semua yang jajan nasi goreng di sini cewek. Ya gimana ya. Kantin yang sebiji ini bisa dibilang sarangnya para cewek. Semua yang rebutan udah pasti cewek. Bikin para cowok anti buat ikut desek-desekkan.
"Udah mau masuk loh ini, Bibik sayang." Lala masih berusaha memohon. "Laper kali loh ini."
"Kulempar kau pake rice cooker, Sayang. Tengok aja lah."
Lala merengut. Hampir pasrah nyari jajanan lain pas Bibik Kantin tetiba nunjuk ke arah pintu pake dagu.
"Tuh yang punya," tunjuk Bibik Kantin.
Lala jelas auto noleh. Awalnya penasaran terus jadi dibakar api kepanasan. Bukan karena malu-malu meong, tapi gara-gara api dendam.
"KAU!" Lala nunjuk muka si cowok.
"Apa?"
Ardian. Kapten basket. Musuh bebuyutan Lala.
"Ngapain kau masuk ke kandang cewek sini, hah!?" Lala emosi sendiri jadinya.
"Sejak kapan kantin ini jadi punya kau?" Ardian nyahut santai. Tatapannya beralih ke Bibik Kantin. "Bik, mau ngambil nasi goreng punya aku."
"Tuh!" Bibik Kantin nunjuk ke sebungkus nasi goreng yang tergantung.
"PUNYAKU ITU!" Lala ngegas.
"Kau mau?" Ardian malah nanya.
Lah, loh? Lala jadi adem ayem. Kok tetiba si pantek ini nanya Lala mau nasi goreng dia.
"Jelas lah!" sahut Lala.
"Jadi pacarku dulu. Nanti kujajanin nasi goreng Bibik ini tiap hari," Ardian senyum doang.
"PUIH!" Lala meragain gerakan ngeludah. "Ampe ayam jago bertelur pun, nggak akan mau aku!"
"Sok kali lah," Bibik Kantin ikut komentar.
"Nggak usah Bibik pake segala komen. Kek komentator bola aja lah kutengok." Lala ngedelik sinis.
Seketika, tantrum Lala karena lapar berubah menjadi kesal.
Fak nasi goreng! Mulai besok, Lala bakal pindah ke sekte nasi uduk kantin sebelah. Tengok aja lah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Princes
RandomEvery prince has a unique tale to tell: one filled with a painful past, another with a broken heart, and the rest with an unspoken emotion. In the end, though, they are still only humans.