18. Raka: Misteri Riska

7 1 0
                                    

Day 18: Silahkan kunjungi work DWC peserta yang nomor urut #pendaftaran nya ada di bawahmu (apabila kamu berada di daftar terbawah, kunjungi peserta nomor urut pertama), kemudian buatlah lanjutan cerita untuk cerita HARI KEDUA yang telah dibuat.

Tokoh utama, latar, dan alur cerita yang kalian dapatkan tidak boleh diubah sama sekali. Apabila kalian ingin menambahkan karakter kalian di cerita silahkan, tapi sebagai karakter pembantu. Alur cerita diharap tidak kontradiksi dengan cerita aslinya

(Semua karakter milik Aldaaldifa sepenuhnya)

Sisa liburan kami berjalan cukup baik, kurasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sisa liburan kami berjalan cukup baik, kurasa. Sempat terjadi bisik-bisik berisik dari orang sekitar mengenai apa yang terjadi padaku. Atau, mungkin kalau boleh jujur, lebih seperti mempertanyakan apa yang aku lakukan. Tidak ada angin, tidak ada badai, tiba-tiba saja berjalan begitu jauh ke arah laut. Beberapa saksi mata mengatakan kalau aku hanya mematung seperti orang linglung saat ditelan ombak.

Ayah dan Ibu jelas panik. Mereka bertanya berulang kali. Apakah aku baik-baik saja, mengapa aku melakukan itu, dan sederet pertanyaan lain yang memekakkan kepala. Aku memberi respons sebaik mungkin agar mereka tidak khawatir. Menjelaskan apa yang aku lihat bisa saja membuat mereka semakin kebingungan. Yah, aku tidak ingin itu terjadi. Jadi, biarlah apa yang sudah terjadi berlalu begitu saja.

Sekarang kami tengah dalam perjalanan pulang. Sebentar lagi akan sampai, begitu klaim Ayah yang didukung oleh aplikasi penunjuk arah. Aku duduk di kursi belakang bersama Riska, dengan tatapan melayang jauh ke luar jendela.

"Kakak?"

Aku menoleh. "Iya, Ris?"

Riksa tidak langsung menjawab. Sekilas kutangkap ada kilat keraguan di mata adikku itu. "Kakak—"

"Riska, nanti saja mengobrolnya." Ibu yang duduk di jok depan bersisian dengan Ayah menegur.

Riska langsung terdiam. Hal yang sama berlaku untukku. Jelas kalau kedua orang tuaku akan membicarakan mengenai insiden yang terjadi di pantai. Nanti. Entah kapan tepatnya, aku tidak bisa menerka.

Hening menyelimuti hingga kami sampai di rumah. Setelah membereskan barang bawaan masing-masing dan membenahi diri, terdengar ketukan dari luar kamarku. Suara Ayah menyembul setelahnya.

"Ya, Ayah?" Aku membukakan pintu. Tidak hanya Ayah, tetapi Ibu turut serta masuk ke kamar.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Ayah.

Tipikal Ayah. Sangat menghormati batasan. Jika aku mengatakan tidak saat ini, maka Ayah tak akan memaksa. Namun, jelas keingintahuan Ayah terbilang besar, jika berdasarkan tebakanku terkait intonasi suaranya.

Aku mengangguk. "Ya, Ayah."

"Jadi." Ibu mengambil start lebih dulu. "Apa yang sebenarnya terjadi, Raka?"

Haruskah aku menjelaskan? Mendadak bibirku terasa kelu. Kejadian itu hampir berada di ujung lidah sebelum kutahan, tidak ingin langsung melontarkannya pada detik setelah Ibu bertanya.

"Tidak apa. Katakan saja." Ayah menenangkan.

Aku menjelaskan apa yang terjadi. Mengenai penglihatanku saat itu. Riska berjalan ke arah air dan tidak menghiraukan panggilanku. Kukejar dia. Lalu tiba-tiba semua menjadi gelap. Saat membuka mata, banyak orang mengerubungi, dengan Riska turut heran mengapa aku berjalan begitu jauh ke arah laut.

Ayah dan Ibu saling pandang.

"Kamu yakin melihat Riska saat itu?" Ayah memastikan.

Aku mengiakan. "Untuk apa Raka berbohong?"

"Mungkinkah—"

"Diamlah dulu!" Ayah segera memotong ucapan Ibu. Gerakannya grasah-grusuh saat berdiri. Tatapannya tertuju padaku. "Raka, jangan katakan ini pada adikmu atau siapapun. Mengerti?"

Suaranya tegas. Aku menenggak ludah, tidak memiliki opsi selain mengangguk. Hingga Ayah keluar kamar dengan tergesa yang diikuti Ibu, ketakutanku masih tidak kunjung hilang.

Apa yang sebenarnya terjadi?










Imperfect PrincesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang