Day 11: Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami
Eric menatap daratan nanar. Dia sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk, tetapi pemandangan di depannya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Semua hancur. Sama sekali tak ada yang tersisa. Bangunan telah rata dengan tanah. Kerusakan di mana-mana. Belum lagi langit diliputi awan gelap. Begitu kelam hingga tidak mengherankan jika terjadi badai sebentar lagi.
Eric mengepalkan tangan. Baru saja ingin kembali menyelam sebelum satu tangan mendarat pada pundak. Tanpa melihat pun dia sudah tau siapa itu. Tristan, ayahnya, atau dalang di balik semua yang telah Eric saksikan.
"Semua ini salahmu," Tristan mengatakan itu tanpa keraguan. "Aku sudah memberi satu kesempatan, dan kau menyia-nyiakannya hanya demi gadis itu."
"Kau seharusnya malu dengan dirimu sendiri," sahut Eric nyaris tanpa ekspresi.
"Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan, Eric."
Tristan kembali ke dalam laut. Meninggalkan Eric yang termenung. Tanpa ekspresi. Hanya ada perasaan terluka di kedua iris hijaunya yang menyerupai zamrud. Sejenak, Eric terpejam. Mengulangi perkataan ayahnya di dalam hati.
Semua ini salahmu.
Kau menyia-nyiakannya hanya demi gadis itu.
Demi Ariel. Inikah harga yang harus Eric bayar untuk mempertahankan Ariel?
Mungkin ini memang salahnya, tetapi di saat bersamaan, Eric tidak mungkin menyerahkan Ariel begitu saja kepada Tristan. Tidak hari ini, besok, ataupun saat Tristan mengancam untuk membunuh gadis itu dengan caranya sendiri jika Eric menolak mengorbankan Ariel baik-baik.
Bagi Tristan, Eric, sebagai putra sulungnya yang sempurna hanya melakukan satu kesalahan selama ini. Sayang sekali, kesalahan itu terlalu besar. Mengancam eksistensi mereka sebagai kaum duyung yang bersusah payah bertahan hidup dari keserakahan manusia.
Kesalahan Eric hanyalah jatuh cinta kepada Ariel, seorang gadis yang notabene adalah manusia. Bagian dari kaum yang mengincar duyung untuk dibunuh dan dihabisi.
Dalam sudut pandang Eric sendiri, Ariel bukanlah sebuah ancaman. Gadis itu begitu manis. Jauh dari selarik kata yang selama ini dituduhkan ayahnya kepada umat manusia. Tirani, makhluk yang penuh ambisi dan keserakahan, dan masih banyak lagi. Tidak. Ariel tidak seperti itu.
Bahkan saat Eric mengungkapkan identitas sebagai duyung pada Ariel, gadis itu menerima apa adanya. Perbedaan yang mengalir pada diri masing-masing tak menghalangi cinta mereka. Eric semakin yakin bahwa manusia tidaklah seperti yang digembar-gemborkan.
Entah bagaimana, Tristan mengetahui semuanya. Tentang Ariel, bagaimana Eric jatuh cinta kepadanya, dan pengungkapan jati diri yang telah dilakukan putranya itu kepada seorang manusia.
Tristan murka. Memberikan perintah tak terbantahkan. Agar Eric segera menghabisi Ariel, bagaimanapun caranya. Gadis itu harus mati apa pun yang terjadi.
Jelas Eric menolak. Dia tidak akan pernah melakukannya.
Kesabaran Tristan benar-benar diuji hingga titik penghabisan. Penolakan Eric membuatnya tidak ada pilihan lain. Amarah murka Tristan, raja kaum duyung, menjelma menjadi ombak raksasa. Meluap-luap cepat menuju daratan. Tidak ada satu pun yang bisa menenangkan. Bahkan kaum duyung berbondong-bondong bersembunyi di tempat aman hingga amarah Tristan mereda.
Kemarahan itu menjadi tsunami besar yang meluluhlantakkan daratan. Apa yang Eric saksikan adalah dampaknya. Tidak ada satu pun eksistensi di daratan yang selamat. Lengang. Entah ke mana para manusia. Namun, hanya satu orang yang berada di benak Eric saat ini: Ariel.
Apakah Ariel selamat atau tidak. Di mana gadis itu sekarang. Apa yang terjadi padanya. Semua itu berputar di dalam benak Eric. Membuatnya mengambil keputusan nekat saat kembali menyelam ke dasar lautan.
"AYAH!" Eric berteriak lantang sesampainya di depan singgasana Tristan.
Tristan mengibaskan tangan. "Enyahlah sebelum aku melakukan sesuatu yang buruk padamu."
"Lakukanlah," tantang Eric. "Tidak ada tempat bagiku di sini. Ariel adalah di mana aku seharusnya berada."
"Kau dibutakan oleh racun, Eric." Tristan menggeram. "Cintamu sudah berubah menjadi racun yang berbahaya. Untukmu, dan juga bagi kaum kita."
"Tidak lagi." Eric merentangkan kedua tangan. "Ubah aku menjadi manusia jika kau tidak ingin aku menjadi bahaya bagimu."
"Kau naif." Kemarahan Tristan kembali terpantik. "Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup setelahnya?"
"Kau tidak akan bisa membunuhmu, kan?" Eric tersenyum miring.
"Kakak!" Salah satu adiknya menyela.
"Diamlah!" bentak Eric.
"Pergi," titah Tristan. Begitu pelan. Nyaris tanpa nada perintah. "Kau bukan lagi bagian dari kaum duyung. Dengan ini, aku akan mengambil ekor dan suaramu. Kau akan menjadi manusia tanpa suara. Lakukan apa pun yang kau mau selama tiga hari."
"Ayah, jangan!" Adik-adik Eric berteriak.
Tristan mengangkat sebelah tangan. "Dalam tiga hari, kau akan mati. Sekarang, enyahlah!"
Tiga hari sebelum mati. Eric tertawa pada diri sendiri. Sebuah harga lain untuk jatuh cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfect Princes
RandomEvery prince has a unique tale to tell: one filled with a painful past, another with a broken heart, and the rest with an unspoken emotion. In the end, though, they are still only humans.