Every prince has a unique tale to tell: one filled with a painful past, another with a broken heart, and the rest with an unspoken emotion. In the end, though, they are still only humans.
Day 26: Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela.
Contoh: Langit hari ini berwarna biru. Aku mengambil harmonikaku dan memainkannya di dekat jendela.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Warning: BxB content. Don't like, don't read.
***
Di luar, langit memaparkan biru cerah tanpa awan. Sedikit mengejutkan karena sejak pagi mendung terus menggelayut. Shiki kira awalnya akan hujan lebat. Tebakan yang meleset. Persis sekitar setengah jam lalu, langit perlahan-lahan mulai bersih. Yang semula awan kelabu membalut setiap sudut menjadi biru bersih tanpa noda kelam sedikit pun.
Baguslah, pikir Shiki. Karena mata pelajaran selanjutnya adalah Seni dan Kebudayaan. Bab musik. Favorit Shiki. Bertepatan hari ini setiap orang diminta membawa alat musik untuk diperagakan di depan kelas. Shiki memilih harmonika. Bukan favoritnya, tetapi mudah dan ringkas di bawa. Tidak perlu space khusus yang terlalu besar dan memakan tempat seperti gitar atau biola. Lagipula, Pak Prabu, guru mata pelajaran satu ini, tidak mengatakan kalau akan dilakukan pengambilan nilai. Shiki menilai mungkin saja akan diberikan evaluasi dan nilai, tetapi mengingat gaya mengajar dan cara Pak Prabu memberi nilai, kemungkinan bukanlah angka yang akan terlalu berpengaruh pada hasil akhir rapor nanti.
"Apakah semua membawa alat musik masing-masing?" Pak Prabu memastikan setelah masuk kelas dan menyapa sebentar.
Shiki mengiakan, serempak dengan teman-teman sekelas lainnya. Namun, ia menyadari kalau Agesa tidak turut menggemakan kata iya. Diliriknya cowok itu. Teman sebangkunya itu tampak panik. Terlihat jelas dari ekspresi yang persis seperti tertangkap basah melakukan tindak kriminal.
"Biar aku tebak." Shiki menghela napas. "Kamu lupa bawa harmonika?"
"Sumpah. Udah aku masukin ke tas tadi malam," keluh Agesa. Ekspresinya kian membuat Shiki iba. "Apa jangan-jangan aku mimpi, ya?"
"Kalau enggak ada di dalam tas kamu sekarang, artinya emang mimpi." Shiki menggeleng-geleng.
Sungguh. Shiki sama sekali tidak masalah, tetapi membayangkan Agesa akan menggunakan harmonika miliknya sontak membuat pikiran Shiki melayang. Terbayang bibir Agesa menjamah harmonika kepunyaannya. Entah itu sesudah atau sebelum giliran Shiki—tergantung urutan panggil Pak Prabu, sama saja. Seperti berciuman secara tidak langsung.
Shiki segera kembali ke kenyataan. "Enggak. Aku enggak apa-apa."
"Oke. Nanti pinjem, ya. Semoga enggak dibantai sama Pak Prabu karena kelupaan." Agesa meringis.
Hatiku yang kena bantai, masalahnya! Shiki ingin sekali mengubur diri atau sekalian menggelinding ke palung paling dalam.
"Agesa?" Pak Prabu rupanya memanggil Agesa lebih dulu.
"Ya, Pak!" Agesa berdiri. Tanpa permisi langsung menyambar harmonika Shiki dan berjalan ke depan.
Pak Prabu tidak banyak bertanya. Langsung mempersilakan Agesa untuk bermain. Dengan gerak minimalis, Agesa mulai memainkan harmonika dengan merdu.
Sebagian dalam diri Shiki berdecak bangga. Hasil latihan mereka tidak sia-sia. Agesa memang sedikit payah soal permusikan, berbeda dengan Shiki. Namun, sisa hati Shiki menjerit. Like, argh! Pokoknya begitulah. Shiki enggan buat menjelaskan lebih lanjut.
"Bagus sekali, Agesa." Pak Prabu memuji setelah Agesa selesai bermain. "Silakan kembali. Selanjutnya, Shiki."
Agesa mengembalikan harmonika kepada empunya. "Thanks, Shiki."
Boleh enggak, sih, Shiki menolak bermain?
Ya, bisa saja. Namun, tidak hanya hatinya yang kena bantai, mental Shiki pun bakal terkoyak akibat sindiran Pak Prabu. Guru mereka yang satu ini meskipun cowok tapi marahnya lebih pedas ketimbang guru-guru cewek. No, no! Shiki malas sekali jika harus kena semprot.
"Bukannya itu milik Agesa?" Pak Prabu memicingkan mata saat mendapati harmonika di tangan Shiki.
"Bukan, Pak. Saya barusan pinjam punya Shiki." Agesa sendiri yang meluruskan.
"Hmm." Pak Prabu membenarkan mata. "Ya sudahlah. Shiki, silakan."
Shiki menatap bagian harmonika yang mesti ditiup. Duh, dia tidak sempat mengelapnya lagi. Bukan karena jijik, tapi lebih ke … ya itulah! Argh. Shiki bahkan terlalu malu untuk mendeskripsikan apa yang ia rasakan.
"Ki?" Beberapa teman tidak sabaran menunggu.
Shiki menarik napas. Mulai bermain harmonika. Tatapannya sempat bertemu pandang dengan Agesa, sebelum Shiki mengalihkan pandangan ke luar jendela. Malu.