Gue baru aja bersiap untuk menyetir pulang saat mendapat telpon dari Jonathan, tetangganya Giana.“Halo Alsha, lo sibuk nggak ntar malem?”
Ini adalah karakter yang sangat khas dari Jonathan yang udah pernah dua kali berbincang singkat sama gue, dia selalu straight to the point. Dan gue suka aja sama karakter orang yang seperti ini. By the way ini adalah kali pertama dia ngehubungin gue setelah kami tukeran nomor satu bulan lalu.
“Nggak, gue free,” Jawab gue jujur.
“Ngopi yuk, sama Asa juga,” ajaknya
“Boleh, mau dimana?” Gue menyetujui tanpa berpikir panjang, gue memang dari beberapa kali main kerumah Gia udah siap diajak begini sama dua orang yang gue sebuat guardian nya Gia itu.
“Publik Kopi tau nggak?”
“Tau.”
“Oke disitu aja, jam delapan ya.”
Setelah gue menjawab oke telpon pun ditutup. Gue melanjutkan niat awal gue—nyetir pulang. Hubungan gue dan Gia berkembang lebih cepat dan lancar dari yang gue bayangkan. Giana, lingkungannya dan dunianya benar-benar menyenangkan. Gue nggak pernah ngerasa bosen ketika gue punya lagi orang lain untuk gue ajak berbagi cerita tentang hari ini, orang yang bertukar kabar setiap hari sama gue, dan yang jadi alasan gue nggak mager keluar ketika weekend.
Dan orang itu adalah Gia. Gue juga cukup takjub sama Gia karena dia bisa ngebuat gue cepet nyaman dan nggak canggung padahal gue udah lama banget nggak pernah punya cerita asmara lagi. Dia memang pribadi yang menyenangkan.
Orang-orang disekitar dia, kayak keluarga atau temennya itu welcome banget ke gue. Gue bersyukur karena gue pernah denger cerita temen gue yang kurang disukai sama keluarga ceweknya. Sejak tau gue dan Gia deket, Bella sangat bersedia dan terbuka ketika gue tanya soal Gia. Dia bener-bener se-excited itu, bahkan dia nawarin tukeran nomor dan mempersilahkan gue nanyain apapun yang berhubungan dengan Gia.
Jujur gue bener-bener terbantu, gue jadi bisa menghindari berbagai hal yang kiranya akan buat Gia ilfeel sama gue. Kalau gue dan Gia berakhir dalam ikatan pernikahan, Bella pasti jadi salah satu orang penting yang berperan besar dalam hubungan kami.
Publik Kopi dimana Asa dan Jo ngajak gue ketemu jaraknya lumayan jauh dari rumah gue, sekitar dua puluh menit berkendara. Gue pernah dua kali kesana, diajak sama sepupu gue sekali dan diajak Bian di kali kedua. Ketika gue tiba hanya ada Jonathan di salah satu meja yang berada paling sudut, gue hampiri dia.
“Oy Jo, udah lama?”
“Eh nggak gue baru sampe.”
Gue mengambil posisi duduk di depan Jo. “Asa mana?” Tanya gue yang tidak menemukan Angkasa sejak tiba di sini.
“Kerumah temennya dulu, ngambil desain. Bentar lagi paling dateng, deket kok rumah temennya.” Gue mengangguk paham.
Gue dan Jo membuat pesanan sebelum mengobrol ringan, sekedar berbasa-basi membahas pekerjaan dan kabar masing-masing. Gia mungkin khawatir kalau Jo akan berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan ke gue, tapi sejujurnya gue nyaman ngobrol sama Jo. Dia orang yang pandai mengakrabkan diri dengan orang lain, memang terkesan sok akrab tapi kalau dia tidak seberani itu sok akrab duluan sama gue di awal kami ketemu hari itu, gue nggak akan sesantai ini ngobrol sama dia. Pasti canggung parah.
Sekitar tujuh menit kami mengobrol akhirnya Angkasa datang, di bahunya tersampir tabung yang gue yakin isinya gambar desain bangunan. Gia pernah bilang kalau Angkasa itu arsitek. Begitu duduk Asa meletakkan sekotak rokok yang masih tersegel rapi ke atas meja, “Noh titipan lo,” Katanya kemudian langsung pamit membuat pesanan ke kasir. Jo mengambil kotak itu dan mengucapkan terimakasih. Oh, dia perokok. Gue nggak kaget sih, kan lumrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Dating Real Feeling
RomanceMalam itu Shaka baru kembali dari rumah sakit, hari ini jadwalnya padat. Ia begitu lelah, ia butuh istirahat sekarang. Saat melewati jembatan yang berada tak jauh dari rumah sakit Shaka tak sengaja melihat seorang perempuan berdiri di teralis besi p...