Jam makan dengan keluarga adalah saat yang akhir-akhir ini kurang gue sukai. Nggak, bukan karena keluarga gue kurang harmonis tapi gue males sama topik obrolannya yang nggak akan jauh-jauh dari kapan gue menikah, atau udah ada pacar atau belum.
“Shaka, Sean mau menikah loh.”
Nah kan mulai.
“Iya Bun, Shaka tahu.” Sean bikin snapgram di close friends nya ketika dia selesai melamar ceweknya. Gue pun sempat nanya-nanya dia via chat, jadi gue udah tahu duluan.
“Cepet juga ya Sean nikah sama Hanin, padahal pacarannya sebentar,” Ini Kak Renesha yang berkomentar. Sejak dia pindah kerumah Bunda dan Ayah karena kehamilannya, kerjaannya memang nambah-nambahin bumbu di setiap omongan Bunda untuk membuat gue kesal.
Gue tetap fokus makan, gue sengaja mau buru-buru menyelesaikan sarapan dan balik tidur lagi karena gue masih ngantuk. Kemarin gue balik sekitar tengah malam. Biasanya gue ogah pulang semalam itu, tapi karena Bunda maksa gue pulang jadinya gue pulang lah. kalau gue ngebantah Bunda, maka lawan gue adalah Ayah. Jadi mending gue nurut aja, karena walaupun udah sebesar ini gue masih takut sama Ayah.
“Kalau dipikir-pikir diantara sepupu-sepupu kamu, sekarang cuma kamu ya yang belum menikah..”
Gue menghela napas, “iya Bun, terus kenapa?”
“Kok kenapa, ya kamu cari pasangan dong! Segera nyusul loh!”
“Iya Bun nanti, kalau ketemu yang cocok,” Kata gue capek.
“Kalau kamu nungguin nggak akan pernah ketemu Ka, ya dicari.”
“Iya Kak, kan aku cari juga.”
“Bohong kamu, Kakak tahu ya kalau kamu itu sibuk kerja terus, gimana kamu nyari pasangan coba?”
Gue capek banget, udah capek sama pembahasan ini, capek juga karena kesibukan kemarin dan kurang istirahat. Nggak bisa apa ya gue dikasih ketenangan dulu?
“Bunda, Rene, udah. Kasihan Shaka kan masih capek jangan di cecar terus gitu.” Gue bersyukur banget dikasih saudara ipar kayak Bang Gibran, cuma dia yang selalu belain gue kalau diserang Bunda sama Kak Rene. Ayah? Boro-boro, yang ada cuma nontonin dan terlihat sangat pro kepada Bunda dan Kak Rene. Mendengar pembelaan Bang Gibran, Bunda dan Kak Rene diam, mereka terlihat kesal tapi tak berkata apa-apa.
“Shaka, kamu kenal dokter yang namanya Mariska Herawan? Dia lagi residen di rs yang sama dengan kamu.”
Dokter Mariska? Gue kenal, tapi nggak akrab. Dia dokter residen bedah, gue pernah dua kali satu ruang operasi sama dia, tegur sapa juga kadang-kadang. Dia itu anaknya kepala departemen penyakit dalam, nggak ada staff rumah sakit Medistra yang nggak kenal dia.
“Kenal Yah,” Jawab gue singkat.
“Dia anak teman Ayah, cobalah lebih dekat dengan dia. Siapa tahu kalian cocok.”
Nah Kan, udah terbaca arahnya pasti kesini. Karena gue tahu dokter Hadi yang merupakan kepala departemen penyakit dalam itu ternyata teman kuliah Ayah dulu. Akhirnya karena males berdebat gue iya-iyain aja omongan Ayah. Bunda sama Kak Rene sampai sumringah karena melihat gue nurut. Ya wajar sih mereka begitu, beberapa bulan belakangan sehabis ribut sama mereka berdua kan gue nggak pernah mau disuruh kenalan sama cewek lagi.
Gue udah bilang kan kalau cewek yang Bunda dan Kak Rene kenalkan ke gue itu adalah cewek yang jauh diluar tipe gue. Keseluruhan dari mereka adalah anak orang kaya dan terpandang yang sudah dilimpahi kemewahan dari lahir, gaya hidupnya hedon dan beberapa dari mereka cukup angkuh.
Gue tau nggak semua orang kaya apalagi old money kayak gitu, gue kenal beberapa old money yang rendah hati dan gaya hidupnya minimalis. Tapi yang dikenalkan ke Bunda sama Kak Rene itu yang songong semua. Yah apa yang diharapkan dari orang-orang di lingkaran pertemanan Bunda yang sosialita dan Kak Rene yang mantan Aktris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Dating Real Feeling
RomansaMalam itu Shaka baru kembali dari rumah sakit, hari ini jadwalnya padat. Ia begitu lelah, ia butuh istirahat sekarang. Saat melewati jembatan yang berada tak jauh dari rumah sakit Shaka tak sengaja melihat seorang perempuan berdiri di teralis besi p...