2. Duduk

3.9K 126 4
                                    

SESAMPAINYA di rumah, aku menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SESAMPAINYA di rumah, aku menangis. Aku sudah merencanakan tangisku baru bisa dimulai ketika di kamar sendirian, tapi enggak, aku malah tersandung ketika turun dari mobil yang disopiri Harsya dan tangisku pecah seketika.

Aku terjatuh di sana, disaksikan Harsya dan ayahnya yang kebetulan tengah duduk di beranda. Ayah tiriku segera berlari turun dan membantuku berdiri, sesuatu yang nggak aku inginkan terjadi.

"Kenapa? Ada yang luka?" tanyanya khawatir.

"Enggak ada, aku nggak apa-apa," kataku dengan nada setegas mungkin. Namun, sulit untuk meyakinkan ayah tiriku, orang yang sejujurnya terlalu baik untuk jadi ayahku.

"Lutut kamu luka," ujarnya.

Dahinya berkerut melihat titik-titik merah di lututku. Aku, yang baru menyadari luka itu, meringis perih. Harusnya aku pakai jeans dan bukannya rok sepan keparat ini, celana jeans lebih melindungi daripada sepotong kain ketat.

Mama yang muncul dari ambang pintu menjerit terkejut sebelum kemudian tergopoh-gopoh menghampiri kami. Melihat lukaku, khawatir. Melihat suaminya menyentuhku, ekspresi Mama menggelap.

Celaka.

Aku segera berlari masuk ke rumah, menaiki tangga, mengabaikan panggilan mereka, dan membanting pintu kamar.

Bersembunyi di balik selimut sembari mengawasi pintu sementara kaata celaka mengerubuti isi kepalaku, seperti semut merah menggerogoti permen.

Nggak berselang lama, suara langkah kaki di lorong terdengar. Ayah tiriku bertanya pada putranya dengan nada menegur, mengira kami bertengkar lagi.

Suara pembelaan Harsya berdengung senewen, Aku nggak salah!

Semua itu berlanjut selama lima menit hingga kemudian Mama yang sepertinya sudah bisa berpikir jernih, menenangkan suami dan anak tirinya, meminta mereka untuk tidak bertengkar dan mengajak keduanya pergi ke dapur.

Aku menarik selimut menutup wajah, berusaha mengabaikan rasa perih di lutut dan terutama dadaku.

***

SUDAH pukul sebelas malam, dan Ardian nggak berusaha meneleponku. Malahan Rena yang melakukannya. Terhitung lima belas panggilan tak terjawab dari Rena-kukirim pesan teks untuk meyakinkan cewek itu kalau aku baik-baik saja.

Persetan.

Ardian toh sepertinya memang sudah menunggu-nunggu kandasnya hubungan kami. Dia cuma bilang 'Maaf, Ca' setelah aku menyemburkan kata putus.

Ya sudahlah, pikirku menghibur diri sendiri meski nyatanya masih sakit hati.

Aku kembali berbaring setelah mencuci muka yang kuyu, menatap langit-langit kamarku sembari mengenang masa lalu.

"Kamu nggak rugi ...," gumamku mengingat-ingat apa saja yang sudah aku berikan pada cowok itu.

Jaket, sepatu kets putih pasangan (punyaku bakal kubuang setelah ini), satu pot kaktus mungil yang seingatku sudah mati, serta hal-hal kecil lain yang nggak pernah aku perhitungkan.

Weird Word🔞 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang