Aku nggak melihat Mama pagi ini. Malahan saat aku masuk ke dapur, yang kulihat adalah papa Harsya sibuk memasak. Sementara itu, putranya duduk dan dengan lahap menyantap roti panggang.
"Oh, pagi Jessica," sapa papa Harsya.
"Pagi," sahutku.
"Hari ini kalian Papa antar jemput ya. Senin jadwal kalian sama kan jam pulangnya?" tanya Papa Dewangga.
"Hu'um," sahut Harsya. Saudara tiriku menyendok nasi goreng berlauk nugget. Menu yang sama juga disajikan untukku.
"Maaf ya, Papa cuma bisa masak yang simpel-simpel aja," kata Papa Dewangga.
"Makasih," kataku.
Segera setelah kami selesai sarapan, Papa Harsya mengantar kami ke kampus. Tak lupa ia menyuruh Harsya untuk segera mengirim pesan jika kami sudah selesai kuliah.
"Papa bakal nganter mamamu ke psikolog," kata Harsya ketika kami berjalan masuk ke gedung kampus. "Aku kira nggak bakal secepat ini, tapi ternyata langsung di antar. Berarti nggak salah kan keputusanku kemarin."
Saudara tiriku tersenyum penuh kemenangan. Pasti maksudnya buat menyindirku yang panik dan marah ke Harsya karena keputusan sembrono kemarin. Kata sombong mengelus pipiku dengan manja.
"Kamu juga nggak lihat Mama tadi?" tanyaku ke Harsya.
Cowok itu menggelengkan kepala. "Nggak, paling mamamu kecapean," jawab Harsya.
"Ha? Kecapean?" tanyaku bingung.
Harsya mengangkat bahu dan bertanya balik, "Kamu kira cuma kita yang olahraga malam? Wajar dong kalau orang tua kita berhubungan badan habis huru-hara rumah tangga."
"Hush! Pelan-pelan ngomongnya!" tegurku.
Refleks kupukul punggung Harsya. Hiih kenapa sih cowok ini nggak bisa bedain tempat publik sama privat? Tapi Harsya nggak menanggapi pukulanku, mengaduh saja enggak.
Kami lalu menaiki anak tangga ke lantai dua. Harsya berjalan di depanku, sementara aku menatap ke punggungnya yang lebar. Hmm, masih perih nggak ya? Semalam bekas cakaranku di sana memerah, mau kuoles salep luka tapi ternyata salepnya sudah habis.
"Harsya nanti kita beli salep-"
"Ica," panggil seseorang tepat dari belakangku. Aku refleks menoleh dan langsung berhadapan dengan Ardian. Dengan kikuk cowok itu berkata, "Hei, pagi."
"Ardian," kataku. Suaraku keluar begitu saja tanpa kusadari. Lupa bahwa aku seharusnya mengabaikan saja cowok ini.
Ardian tersenyum canggung padaku. Wajahnya terlihat segar dan bajunya rapi. Cowok itu mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hijau tua. Yang menarik perhatianku adalah satu kancing kemeja itu berbeda dengan yang lain. Ingatanku memutar kenangan saat Ardian tertawa melihatku menjahit kancing yang nggak serasi itu.
Seseorang memegang pundakku dari belakang. Sensasi merinding merayapi punggung ini. Saat aku menoleh ke belakang, Harsya nggak berkata apa-apa. Cowok itu hanya menatapku, nggak menghiraukan Ardian. Dalam diam yang nggak nyaman itu, Harsya menarikku dan kami kembali berjalan menaiki tangga.
Cowok itu nggak peduli aku kesusahan melangkah dengan ditarik begini, ia tetap melangkah cepat sampai di pojok lantai dua. Harsya lalu mendorongku ke dinding dan berkata dengan ekspresi dingin.
"Dengar Ica, aku nggak peduli gimana caranya. Pokoknya kamu nggak boleh ngomong apa pun ke Ardian. Kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia. Kalau bisa aku pengen kamu anggap dia nggak ada!" ujar Harsya.
Tangan Harsya yang menahan pundakku gemetar. Mata saudara tiriku menatap nyalang, hampir menakutkan.
"Ha-Harsya tenang dulu," kataku lembut. "Jangan gini, nanti kalau ada yang lihat mereka bakal mikir yang aneh-aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Word🔞 [End]
RomansaJessica selalu menemukan cara untuk menghindari kegilaan ibunya. Berpacaran, berpura-pura akur dengan saudara tirinya, apa saja. Jessica tau ibunya tak waras karena selalu curiga anaknya sendiri akan merusak rumah tangganya. Saat saudara tiri yang s...