33. Mandi🔞

2.1K 47 0
                                    

"Mandi bareng yuk?" bisik Harsya ketika kami sampai di pekarangan rumah. Harsya yang baru menutup gerbang depan lalu merangkul pundakku. "Nanti aku keramasin."

Aku memutar mata pada cowok itu. "Enggak mau, jangan aneh-aneh deh," jawabku.

"Cuma mandi loh," kata Harsya masih bisik-bisik. "Eh enggak deh. Sebenarnya aku mau diskusi sama kamu, soal gimana caranya ngejelasin hubungan kita ke Papa sama mamamu. Mau kan?"

"Di kamar mandi?" tanyaku nggak percaya. Namun saudara tiriku menganggukkan kepala tanpa ragu atau malu, cowok itu malah nyengir. "Mencurigakan," dengusku.

Sebenarnya Harsya mungkin nggak perlu menjelaskan apa-apa ke Mama. Soalnya itu kan yang Mama mau? Aku sama Harsya, Mama sama Papa Dewangga. Tinggal perlu jelaskan ke papanya Harsya apa dia bakal membiarkan kami punya hubungan yang lebih dari saudara tiri atau nggak.

"Aku serius tau! Kan kamu yang dari kemarin minta diskusi-diskusi dulu, ini aku turutin loh biar nanti pas makan malam bisa langsung jelasin ke mereka," gerutu Harsya.

Aku pura-pura manyun ke Harsya. Saat kami akhirnya melangkah menaiki tangga teras, aku berbisik ke Harsya, "Beneran cuma mandi?"

Sebenarnya niatku cuma menggoda Harsya sedikit. Aku lupa kalau kendali diri Harsya itu serapuh tisu. Sebelum tanganku sempat membuka pintu, Harsya menahan tanganku yang memegang kenop pintu.

"Kalau misal sambil ngapa-ngapain ... emangnya kamu nggak mau?" bisik Harsya.

***

"Harsya ...," desahku.

Pakaian kami sudah dilempar ke keranjang baju kotor di kamar Harsya, begitu pun akal sehatku mungkin juga ikut terlempar. Shower sudah dimatikan, wangi sabun dan shampo tercium semerbak memenuhi kamar mandi. Kami berdua basah kuyup, sudah bersih dari debu dan keringat.

Aku mengingat gumamanku tadi saat membujuk Harsya, Nanti ... nanti kalau sudah bersih.

"Enak?" tanya Harsya.

Belum sempat aku menyahut, saudara tiriku kembali menjulurkan lidah. Kata jilat menggodaku, memanjakan, sekaligus menyiksa. Harsya menjilat mulut kemaluanku tanpa sungkan.

"Pelan ... Harsya ah!" desahku kaget.

Harsya tiba-tiba mengisap kuat klitorisku. Daging mungil itu tersiksa dan menghantarkan sensasi luar biasa setiap Harsya mengisap. Lalu kata labia mendengung keras seperti lebah kecil yang berusaha memprotes perlakuan Harsya. Saudara tiriku berpindah menjilat dan mengisap pada daging lembut itu. Mengulum dan mencoba melumat labia yang tanpa daya.

"Oooh oh," gumamku. Setruman-setruman seksual menjalari pinggulku. Bibir kewanitaanku seakan membengkak. "Hngg Harsya geliii."

Lidah Harsya yang hangat dan basah akhirnya membuka lipatan labiaku, menjilat nakal sebelum akhirnya ... oh astaga, menyelip masuk.

"Ja-jangan! Aah ... uh Harsyaaa ah-hahh!" Bunyi decapan Harsya mengisap di bawah sana membuatku gila.

Posisiku berdiri bersandar di dinding, sedang Harsya berjongkok di depanku. Satu tangan Harsya menahan bokongku, sesekali menggoda dengan mengelus naik turun ke pinggangku hingga semakin terasa geli. Meski mataku nggak bisa melihat secara langsung sebab terhalang kepalanya, tangan kanan Harsya kini mencengkeram penis, mengocok batang kejantanan dengan cepat.

Pemandangan yang sangat erotis, nggak senonoh. Saudara tiriku masturbasi sementara mulutnya seakan memaksaku orgasme.

"Udah! Udah Harsya please!" pekikku putus asa. "Ahn--please! Enak--iya enak Harsyaaah!"

Harsya masih mengisap dengan lidah terjulur masuk ke dalam lubangku. Rasanya telinga dan seluruh tubuh ini memanas meski air masih menetes-netes di badan.

"It's too much Harsya udah pleasee! Hngg! Ngggeh!" erangku menahan jeritan. Ingat ... ingat Jessica jangan teriak nanti—

Enggak, nggak bisa! Aku udah nggak tahan!

"Harsya tarikh! Ah-ahn dengeriin aku nggak bisa nahan lagi aagh hah!"

Saat akhirnya ketegangan itu mencapai puncaknya, tanganku dengan paksa menjambak rambut Harsya. Menjauhkan cowok itu dari vaginaku yang berkedut-kedut nggak kuasa menahan puncak kenikmatan. Pahaku gemetar saat kemaluanku di bawah sana nggak bisa dikendalikan, seakan terbuka tapi mengetat kuat di dalam. Cairan bening hangat mengalir turun di antara kakiku.

"Hnggghh! Uuh! Hah-hngg!" erangku di balik bekapan telapak tangan.

Ini--nikmat ini. Sedikit kewarasan memaksaku mengendalikan diri untuk nggak teriak. Kata malu berlalu pudar di ujung mataku. Tapi kata gelora dengan bangga membumbung tinggi.

"Aaah! Aaahnn Harsyaahah ... ahmm-huf ...," desahku. "Huuf uuh." Jemariku gemetar masih memegangi kepala Harsya.

Harsya berdiri, menjilati jemari yang basah. Mataku seakan menolak untuk mengalihkan pandangan dari lidah Harsya. Oh ... barusan, barusan lidah itu menyiksaku di bawah sana. Rasanya bagian dalam kewanitaanku kembali memanas, merindukan Harsya.

Seandainya sekarang milik Harsya masuk ke dalam sana ...

"Enak kan?" tanya Harsya dengan senyum miring. "Siapa tadi yang bilang jorok hmm?"

Aku mendongak menatap Harsya. Napasku terengah-engah lelah. Merasa tanpa daya untuk menolak seandainya cowok itu memilih untuk membuka kakiku lebar-lebar sekarang. Namun, Harsya memilih untuk menyiksaku.

"Sentuh," perintah Harsya. Tangan Harsya meraih tanganku, membuatku mengelus dada bidangnya yang basah. "Aah ...," desah Harsya.

Suara parau saudara tiriku membuat pinggul ini kembali merinding.

Bisa-bisanya, pikirku, bisa-bisanya hanya suara sederhana itu membuatku terangsang lagi.

"Sentuh, Ica, sentuh ...," pinta Harsya.

Jemariku terentang, dengan rakus menyentuh leher Harsya lalu turun lagi ke dadanya. Saudara tiriku mendongak keenakan. Sekali lagi Harsya mengarahkan punggung tanganku.

Oh ke bawah ... ke perutnya yang berotot dan menggoda itu, hmm yummy ... lagi-lagi ke bawah lagi.

"Ya-ya lagi ... lagi, sentuh lagi aagh aah Ica," ujar Harsya parau.

Tanganku terus mengelus ke bawah hingga menyentuh batang panas yang berurat itu. Kejantanan yang sudah tegang dan bengkak. Kulit Harsya terasa lembut sekaligus keras saat di sentuh. Jemariku malu-malu mengelus satu urat yang paling menonjol di sepanjang penis itu.

"Aagh," erang Harsya. Suaranya terdengar putus asa tapi ... senyuman di wajah Harsya menggambarkan kemenangan. "Gantian, Ica."

Cowok itu tanpa belas kasih menekan pundakku, membuat posisi kami di balik. Kini aku berlutut di depan Harsya, terjebak di antara cowok itu dan tembok.

Harsya menatap ke bawah dengan mata berkabut. Rasanya pipiku memanas karena ... Harsya terlihat luar biasa erotis dari sudut pandang ini. Tubuhnya yang atletis, bisep Harsya yang menonjol, lalu ... wajah rupawannya.

Saudara tiriku terlihat putus asa, tapi juga berkuasa atas diriku. Tanpa sadar kurapatkan kakiku, menahan keinginan untuk memaksa Harsya menyelipkan jemarinya yang panjang ke dalam milikku.

Jangan Jessica jangan ... ah, apa ini yang Mama rasakan saat jadi pelacur dulu? Memalukan, tanpa moral tapi juga sangat panas dan liar.

Lubang senggamaku mengetat lagi, memerah malu tapi berkedut-kedut hangat mendambakan Harsya.

"You can do it right?" tanya Harsya.

Aku menatap saudara tiriku dengan tatapan yang sama berkabutnya. Nggak fokus karena gairah, terlalu panas untuk berpikir jernih. Dalam kepalaku hanya ada Harsya Harsya Harsya-ku.

"Oh?" gumam Harsya. Satu tangannya mengelus puncak kepalaku seakan maklum, sementara senyum miring tertarik di wajah rupawan Harsya. "Nggak pernah ngasih blow job ya?"

..................................................................................................................................................................................................................

Sebenarnya gue gatel pengen ngoceh panjang soal bentuk labia yang bisa beda-beda🫠

Chapter ini adalah Mandi tapi tidak Mandi

Weird Word🔞 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang