31. Kering

633 36 8
                                    

Aku nggak berpikir dua kali, langsung berdiri, dan menampar pipi Harsya sekeras mungkin.

PLAK!

Telapak tanganku terasa panas. Harsya nggak kaget dengan tamparan itu. Saudara tiriku nggak mengaduh atau langsung memegang pipinya. Malahan, dengan pelan cowok itu menoleh padaku. Tapi sebelum mata kami bertemu, aku menghambur keluar dari dapur.

"Jessica!" panggil Mama dan Papa Dewangga bersamaan.

Tapi aku nggak menoleh ke belakang, terus lari sampai keluar dari rumah. Terus lari sampai ke jalan kompleks ini yang sepi. Lari, lari, lari, sampai dadaku sesak.

Apa Harsya menyusul di belakang? Apa Mama dan Papa Dewangga menyusul? Aku nggak berani menoleh ke belakang.

"Hah ... hah!" Napasku rasanya mau habis saat sampai di ujung blok kompleks. Mataku berkunang-kunang, dahiku berkeringat, dan paru-paruku rasanya mengering.

Kini aku terisak dan akhirnya menangis lagi, di pinggir jalan, konyol dan sendirian. Memang jalan di sekitar sini jam sore begini sepi, tapi toh aku sudah nggak peduli kalau ada orang yang lihat.

Kenapa tadi? Kenapa Harsya malah bilang ke Mama Papa? Lagi-lagi dia ngambil keputusan tanpa bertanya ke aku. Kenapa ... tiba-tiba banyak banget masalah yang muncul. Dari kemarin, terus Harsya yang tiba-tiba marah tadi pagi, terus Lesta, dan sekarang ini ... terlalu banyak.

"Jessica!" seru Harsya dari belakangku. Aku nggak menoleh tapi bisa mendengar suara langkah kaki Harsya yang mendekat. "Ica! Jessica!"

Saat tangan Harsya terasa menyentuh pundakku, langsung kusingkirkan tangan itu dengan kasar. Kutundukkan kepala dan memejamkan mata erat-erat. Aku nggak mau melihat Harsya sekarang.

"Jessica please ... aku salah, iya, aku minta maaf ... ya? Aku pikir tadi, tunggu kita--kita ke sana, gimana?" tanya Harsya. "Oke? Kita duduk dulu ya? Hmm?"

Kuabaikan bujukan Harsya. Mataku terpejam erat tapi air mataku masih menetes-netes. Aku nggak tau ... tapi rasanya capek banget menghadapi Harsya yang bertindak semaunya.

"Kita ke taman itu ya? Biar kamu duduk terus—"

"KENAPA SIH KAMU SELALU NGAMBIL KEPUTUSAN SEENAKNYA SENDIRI?!" jeritku seraya berbalik menghadap Harsya.

Mataku terasa pedih tapi dengan teguh kuusap kasar untuk membersihkan air mata. Harsya lebih tenang menghadapi amarahku, nggak seperti tadi saat kami bertengkar gara-gara Lesta. Mengingat itu malah membuatku makin jengkel.

"Kenapa kamu malah bilang—tiba-tiba ngasih tau mereka gitu," keluhku sedih. Air mataku lagi-lagi menetes deras. Harsya segera mengulurkan tangan dan mengusap air mataku.

"Bukannya kamu juga sayang sama aku?" tanya Harsya. Nggak ada nada marah, menuntut, atau bingung di suara itu. Cowok itu seakan hanya bertanya dengan kepolosan.

Aku menatap sedih pada Harsya. Saat pandanganku sudah nggak berkunang-kunang, aku berkata, "Iya, memang. Aku sayang kamu."

Tapi kalimatku terasa kering. Kata kosong seakan melayang lalu rusak seperti abu tertiup angin.

"Terus kenapa kamu marah begini? Uring-uringan kayak gini?" Harsya kembali bertanya. Tenang, tersenyum tipis, dan nggak menuntut jawaban. Senyum Harsya seperti ... seseorang yang sedih, tapi paham dan memaklumi. "Soalnya aku bikin banyak kesalahan ya? Kamu masih kaget dan aku malah ngambil keputusan seenaknya lagi. Apalagi tadi waktu di kampus aku marah-marah ke kamu ... maaf, Jessica. Aku beneran minta maaf."

Kenapa aku malah marah? Benar, kenapa tadi aku marah? Padahal Harsya cuma ... jujur. Harsya cuma jujur soal perasaannya. Dia nggak bilang kalau sebenarnya kami sudah berhubungan yang nggak seharusnya. Tapi kenapa aku malah marah ke Harsya? Padahal dia cuma bilang, mengakui, bahwa dia cinta aku.

Weird Word🔞 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang