Kata lari lari lari menjerit dalam kepalaku. Lari! Sekarang! Kunci pintunya!
Seharusnya aku tau saat melihat Mama membeku di ambang pintu depan. Suara piano indah yang kudengar di restoran malam itu seakan terputar lagi. Suara jeritanku dulu saat ditahan di kasur lamaku terdengar.
Kamu lupa? Lupa apa yang si berengsek itu lakukan? Mau diulang lagi?! Lari! Kenapa malah diam saja?!
Kakiku menolak melangkah.
Pria itu berdiri di depan Mama, di teras rumah kami. Berpakaian rapi, bersepatu licin. Kata lari kembali menjerit panik dalam kepala ini.
Tamu ... tamu berengsek!
Yohan adalah tamu kami. Pria itu terlihat sama kagetnya dengan Mama. Sementara itu ada begitu banyak pertanyaan menyerbuku. Kenapa dia ke sini? Kenapa kenapa kenapa?
"Silakan masuk," kata Papa Dewangga. Namun, pria itu seakan baru sadar dengan sikap aneh Mama. "Sayang ada apa?" bisiknya ke Mama.
Mama seakan tersadar dan menoleh ke suaminya. Ekspresi Mama seakan mengambang, seperti ada kata bingung, hilang, dan luntur teraduk di wajah Mama.
"Permisi," kata Yohan.
Di belakang pria itu, ada dua orang yang kukenal. Ardian dan Lesta, rasanya ada yang terenggut dalam kendali diriku. Kenapa mereka bertiga ke sini?
Mama! Mama jangan biarin mereka masuk!
Mama masih menatap ketiga tamu kami. Seperti burung hantu besar yang mengawasi, sama sekali lupa dengan sekitarnya.
"Psst! Kita disuruh duduk sama Papa," bisik Harsya.
Aku tersentak kaget. Tanpa sempat kutolak, Harsya menggiringku dan kami duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan tamu kami.
Aku duduk di sofa bersama Harsya, Papa Dewangga duduk di sofa single, sementara ketiga tamu kami duduk di sofa panjang. Mama menghilang ke dapur.
Lari lari lari, pikirku.
"Jadi ... ada perlu apa dengan anak-anak saya?" tanya Papa Dewangga. Pria itu tersenyum ramah pada ketiga tamu kami.
Aku menolak berkontak mata dengan mereka bertiga, sibuk menekuri keliman rok di lututku. Jemariku terkulai lemas di sisi tubuh, lemas dan gemetar. Kata takut dan sakit menjalari punggung ini.
"Jessica," bisik Harsya. Cowok itu menggenggam tanganku tanpa malu.
"Harsya," tegurku dengan napas tertahan.
Di depan kami, Ardian terbatuk-batuk kecil.
"Saya Yohan," kata pria itu. Ada ketakutan luar biasa yang menerjangku dari suara pria itu. "Ini anak saya Ardian, dan ini Lesta, saya walinya. Saya dengar anak-anak Anda Harsya dan ... Jessy bertengkar dengan anak-anak saya tadi."
Jessy? Jessy katanya!
Mataku panas mendengar panggilan itu. Berani sekali dia masih memanggilku dengan nama kecil itu. Nama yang susah payah kuganti menjadi Ica.
"Bertengkar?" tanya Papa Dewangga kaget. "Kapan? Tadi?"
"Dia!" kata Lesta cukup keras.
Aku tersentak kaget, mengira Lesta menunjukku. Tapi ternyata telunjuk berkuku merah mudah itu menunjuk pada Harsya. Saudara tiriku menegakkan punggung, ekspresi Harsya sedingin es.
"Dia narik rambutku sampai aku jatuh tadi," kata Lesta. Kembali menggunakan aku dan bukan gue.
Kata drama menggema di samping telingaku. Aku teringat Harsya yang menjambak Lesta sampai cewek itu jatuh tadi. Nggak kusangka Lesta bakal kekanak-kanakan dan mempermasalahkan itu sampai begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Word🔞 [End]
RomansaJessica selalu menemukan cara untuk menghindari kegilaan ibunya. Berpacaran, berpura-pura akur dengan saudara tirinya, apa saja. Jessica tau ibunya tak waras karena selalu curiga anaknya sendiri akan merusak rumah tangganya. Saat saudara tiri yang s...