Harsya sedang memangkas pagar tanaman di pekarangan belakang ketika aku pulang. Cowok itu menggunakan gunting besar dan memotong barisan pohon pucuk merah menjadi kotak. Kres kres kres, daun-daun muda kemerahan berserakan di atas rumput.
"Jessica! Udah rapi belum nih?" tanyanya dengan ujung gunting menunjuk ke pohon yang baru ia potong.
"Rapi," jawabku. Ada satu daun merah menghiasi rambut Harsya, seperti jepit kecil. "Aku mau ngomong sama kamu, ayo masuk ke rumah dulu."
"Kamu dari mana tadi? Tumben lama banget," kata Harsya yang sudah berpindah ke pohon berikutnya. "Mau ngomong apa?"
"Aku habis ketemu Lesta," kataku.
Gunting Harsya yang sudah siap memotong tiba-tiba berhenti. Harsya seakan terkena mantra beku sesaat, tapi cowok itu berkedip lalu melanjutkan memotong dahan.
"Habis ketemu Lesta ya, seingatku kamu bilang mau nongkrong sama Rena," kata Harsya.
Tenang, santai, biasa saja. Selain diam sesaat itu Harsya sama sekali nggak menunjukkan keheranan.
Aku ingin menarik Harsya, mencengkeram kerah kaus lengan pendek yang ia pakai. Kata-kata dari spidol hitam memenuhi lengan Harsya, pudar tapi masih bisa kubaca. Namaku tertulis dengan huruf besar memenuhi hasta hingga pergelangan tangan kiri, seakan Harsya dengan sengaja menaruh huruf A itu di atas nadinya.
"Harsya, aku mau bicara sama kamu," kataku keras kepala.
Harsya menoleh padaku. Gunting kebun jatuh ke tas rumput, dicampakkan begitu saja dan Harsya berjalan ke arahku. Aku sontak melangkah mundur, sebab instingku berkata mundur. Harsya berhenti melangkah, berdiri di atas rumput seperti rusa tersorot lampu. Kata kecewa menjerit padaku dari mata Harsya.
"Kamu takut," kata Harsya, "padaku. Yang mana dari cerita Lesta yang bikin kamu takut?"
"Semuanya," jawabku.
Harsya memiringkan kepala, seakan berusaha mengira-ngira maksudku yang mana.
"Apa kamu nggak pernah jujur ke aku? Selama ini kamu selalu ... bohong ke aku?" tanyaku. "Kamu bohong, kamu bilang nggak ada hubungan apa-apa sama Lesta!"
"Aku memang nggak ada hubungan apa-apa sama Lesta, aku cuma cinta kamu," sahut Harsya.
Aku ingin menjerit ke Harsya, berteriak-teriak. Menuntut kejujuran!
"Bukan itu! Bukaaan!" raungku seperti anak kecil marah. Aku berlari lalu menubruk Harsya, kami jatuh di atas rumput dengan Harsya di bawahku. "Kamu jujur bilang kerja sama dengan Lesta biar aku sama Ardian putus. Tapi kamu nggak pernah bilang kalau tau soal Arsenik itu! Kamu ngasih Lesta Arsenik! Kamu tau Mama punya racun dan kamu nggak pernah bilang itu ke aku! Kamu juga yang bikin skenario biar Yohan datang ke rumah malam itu! Apa sebenarnya kamu pelakunya?!"
Aku menangis, deras dan marah. Marahku benar-benar terbakar, hingga rasanya aku sendiri hangus jadi abu. Bahkan pohon-pohon yang baru dipangkas Harsya terdengar sama marahnya denganku.
"Secara nggak langsung mungkin iya," jawab Harsya. Tenang, benar-benar tentang. Seperti permukaan danau yang memantulkan langit biru. "Tapi mamamu nggak bohong, Jessica, memang mamamu pelakunya. Bukan aku yang nuang arsenik itu ke tiap gelas."
"Katakan!" jeritku. Aku mencakar leher Harsya, kulitnya memerah mengingatkanku pada bekas pulpen.
"Mamamu penakut, sangat-sangat penakut. Mamamu butuh motivasi besar buat melakukan sesuatu. Tapi kalau alasannya kamu ... kalau itu demi kamu, mamamu bakal melakukan apa pun."
Mata Harsya terbuka lebar. Cokelat, indah, dan terpukau padaku. Seakan Harsya kembali jatuh cinta, jatuh sangat dalam. Permukaan danau indah yang memantulkan biru langit itu mungkin bisa membunuh dengan menenggelamkanku, seperti Harsya.
"Aku nggak sengaja menemukan arsenik itu, dan langsung tau kalau itu punya Danela. Karena Papa nggak suka pakai racun, lebih suka cutter dari kantor. Mamamu panik dan mohon-mohon buat jangan bilang ke kamu ... aku bilang ada syaratnya."
"Apa?" tanyaku. Tapi ... tapi aku tau jawabannya. Harsya ingin ... aku. "Jujur Harsya ... jujur padaku. Kamu harus jujur! Atau aku--kamu nggak akan bisa lagi menulis namaku!"
Harsya tertawa. Lepas, jenaka, indah, dan manis berhamburan.
"Aku jujur! Aku jujuur, Jessica! Aku yang bikin ide itu, ide soal keluarga baru kita. Aku sama kamu, Mama sama Papa. Sempurna ya kan? Mamamu juga pikir itu ide bagus." Harsya mengulurkan tangan, memeluk punggungku. "Semuanya sempurna, mamamu akhirnya mau ke psikolog dan kita berempat bakal baik-baik saja. Tapi kemudian ... aku nggak bisa berhenti mikirin soal Ardian, oh bukan lebih tepatnya ayah Ardian, Yohan."
Aku gemetar ketika Harsya mengucapkan nama itu. Seperti kata terlarang. Tapi Harsya mengucapkannya dengan lebih jijik, dendam, dan amarah yang jauh lebih besar daripada amarahku sendiri.
"Dia harus disingkirkan gimana pun caranya. Karena ... karena aku nggak tahan lihat kamu nangis-nangis lagi gara-gara dia. Kalau bisa, aku nggak mau ada sex lain yang tujuannya cuma buat nyingkirin mimpi burukmu." Harsya lalu tersenyum, manis dan sayang. "Makanya aku bawa Yohan ke rumah kita malam itu. Terus, waktu aku ke dapur cuci muka, sebenarnya tujuanku buat ... hmm memotivasi mamamu? Anggap aja gitu."
Aku membayangkan Harsya mengeringkan tangan dengan lap dapur. Saudara tiriku berbisik ke Mama. Mengucapkan kata-kata beracun dengan manis dan merayu.
Kalau alasannya aku ... kalau itu demi aku, Mama bakal melakukan apa pun.
"Aku bilang ke mamamu kalau inilah saatnya. Saat yang tepat kalau mau dia mati, balas dendam sekarang, demi Jessica bebas. Nggak akan ada kesempatan lain. Pakai aja racun itu, kataku, aku cuma ngasih ide sih terserah mau dipakai apa enggak. Aku kembali ke ruang tamu sebelum mamamu selesai buka kaleng arsenik, jadi memang Danela sendiri yang ngeracunin mereka bertiga. Di luar kuasaku kalau Ardian dan Lesta ikut keracunan. Toh yang penting Yohan mati, dan sekarang kamu nggak pernah mimpi buruk lagi soal dia."
***
Harsya mengikutiku masuk ke rumah, mengamati seperti seekor anjing penasaran. Sama sekali nggak berusaha mencegahku menelepon. Seperti bertanya-tanya Kamu mau melakukan apa? Aku boleh ikut kan?
Aku menelepon Papa Dewangga. Menangis tersedu-sedu, meminta ayah tiriku cepat pulang karena sesuatu yang luar biasa mendesak soal putranya. Harsya tertawa dan keluar dari kamarku saat mendengarku bilang begitu. Aku mendengar Harsya memutar shower kamar mandinya. Harsya menggosok bersih tinta di kedua lengannya, hanya tebakan.
Aku baru menyadari bahwa Harsya selalu menyembunyikan tulisan-tulisan itu dari papanya.
Kakiku berlari ke kamar Harsya, saat aku masuk benar saja Harsya sudah membersihkan kata-kata itu. Lengan kanannya bersih. Tapi aku segera menjerit keras-keras.
Namaku masih ada di lengan kiri Harsya. Huruf besar JESSICA. Dua huruf S meliuk seperti mimpi buruk. Kata merah, luka, dan darah tertawa padaku. Darah dari setiap huruf itu masih mengalir, segar dan begitu pekat. Harsya menjatuhkan sebuah pulpen putih ke atas kasurnya, lalu tersenyum. Aku hampir mendengar suara manisnya bertanya, Kenapa Sayang?
Ujung pulpen itu berdarah dan kusadari kalau itu bukan pulpen tinta. Pulpen pemotong kertas.
Harsya menulis--mengukir--namaku di atas kulitnya.
Sebuah tulisan tanpa tinta.
JESSICA.
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Dulu waktu awal-awal kuliah, hampir semua laporan gue ditulis tangan pakai pulpen. Kalau salah tulis banyak nggak boleh ditutup pakai corector, harus tulis ulang. Makanya kami beli pulpen yang bisa dihapus banyak-banyak biar nggak perlu tulis ulang satu halaman.
Tapi harga pulpen bisa dihapus di Indo mahal:v jadinya gue beli dari Cina, kebetulan di toko itu juga jual pulpen pemotong kertas. Gue beli itu juga, siapa tau butuh/bermanfaat.
Pulpen pemotong itu cuma gue pakai di awal buat iseng-iseng motong kertas. Habis itu nggak pernah gue pakai lagi karena kurang efisien.
Gue harap pulpen itu nggak bakal gue gunain kayak Harsya makai pulpennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Word🔞 [End]
RomanceJessica selalu menemukan cara untuk menghindari kegilaan ibunya. Berpacaran, berpura-pura akur dengan saudara tirinya, apa saja. Jessica tau ibunya tak waras karena selalu curiga anaknya sendiri akan merusak rumah tangganya. Saat saudara tiri yang s...