Sebenarnya aku nggak terlalu suka menulis dengan spidol. Terlalu tumpul dan karena ujungnya besar maka lengan (atau kaki atau bagian mana pun yang tengah kucoret) jadi cepat penuh dengan tulisan. Tapi tinta spidol yang tebal dan pekat selalu membuatku merasa puas.
Berbeda dengan pulpen yang berada dalam genggamanku ini. Pulpen itu terasa ringan, ujungnya yang terbuat dari besi terasa dingin saat menggores kulitku. Ukuran pulpen yang lebih kecil memungkinkan lebih banyak kata untuk ditulis.
Sayangnya tinta pulpen cepat luntur. Sedikit saja keringat atau air bisa merusak tulisan yang kugores di kulit. Yah, mau bagaimana lagi kulit nggak bisa meresap tinta seperti kain.
Tapi bicara soal sensasi ... aku suka sensasi saat ujung pulpen menekan kulit. Runcing tapi nggak cukup tajam untuk melukai kulit. Sakit tapi nggak terlalu sakit.
Sedikit rasa merinding saat ujung pulpen menekan kulit dan meninggalkan tinta gelap membuatku bisa bernapas lega.
Tapi kali ini sedikit tekanan saja nggak cukup.
Ada kata ceroboh, marah, cemburu, mata, akal, sayang, larang, pergi, iri, tangan, singkirkan, dan entah kata apa saja yang sudah kutulis di tangan kananku. Aku sudah lupa.
Sementara itu ada kata EGOIS dan JESSICA yang kutulis berulang-ulang hingga memenuhi lengan kiriku.
Ya, hari ini aku terlalu egois ke Jessica.
Kecewa, tanganku menulis demikian. Aku kecewa karena nggak bisa mengendalikan diri tadi.
Bukan salah Jessica kalau tiba-tiba Ardian muncul dan manggil cewek itu. Benar, tadi itu cuma refleks. Jessica menyebut nama Ardian cuma refleks. Mereka nggak sentuhan, atau tiba-tiba Jessica memilih balikan dengan cowok itu.
Aku nggak perlu sehilang kendali ini. Ya kan? Nggak perlu sampai sembunyi di kampus setelah meninggalkan Jessica tadi, duduk di toilet yang tertutup dan ... menulis semua itu.
Pikiranku perlahan lebih jernih, tapi kedua lenganku sudah penuh dengan kata-kata. Enggak, belum cukup ...
Kuangkat kakiku lalu menggulung bagian bawah celana. Betis kiriku menjadi kanvas kosong. Ujung pulpen itu lalu menggoreskan huruf-huruf lagi, menyusun kata benci, susun, belajar, dan semua kata yang terlintas di kepalaku.
Persetan dengan aturan tulis yang kamu miliki. Kata-kata yang kutulis semakin lama semakin acak. Atau mungkin malah semakin berhubungan? Aku nggak tau, semuanya kutulis karena ... rasanya menenangkan.
Lagipula siapa yang peduli arti kata-kata yang terlintas di kepala ini?
Tanganku nggak bisa berhenti, ah bukan begitu ... kepalaku yang nggak bisa berhenti berpikir. Kepalaku nggak puas. Kutulis kata kepala dengan menekan kuat-kuat ujung pulpen ke betisku.
Ada sedikit rasa panas yang tertinggal di betis saat ujung pulpen itu kuangkat. Kata kepala yang jadi ternyata nggak rapi karena tanganku gemetar.
Kulempar pulpen itu ke pintu kamar mandi. Benda kecil itu menghantam pintu lalu jatuh menggelinding di lantai kamar mandi.
Aku terengah-engah, baru sadar napasku tertahan karena emosi. Tapi segera kututup mulut rapat-rapat.
Tenang ... tenang Harsya. Buru-buru kurapikan celana, lalu lengan kemeja yang tadi kugulung.
Saat keluar dari bilik kamar mandi dan menatap cermin toilet, wajahku terlihat ... menyedihkan? Entahlah. Aku kelihatan seperti cowok pemarah. Seenggaknya bukan cowok gila yang hampir mengonyak kulit sendiri menggunakan pulpen.
Kuputar keran wastafel lalu membasuh muka. Saat selesai membasuh muka, Bara mengirim chat singkat menyuruhku segera masuk ke kelas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Weird Word🔞 [End]
RomanceJessica selalu menemukan cara untuk menghindari kegilaan ibunya. Berpacaran, berpura-pura akur dengan saudara tirinya, apa saja. Jessica tau ibunya tak waras karena selalu curiga anaknya sendiri akan merusak rumah tangganya. Saat saudara tiri yang s...