30. Keluarga

634 41 6
                                    

Sepanjang perjalanan itu kami nggak bersuara. Papa Dewangga juga menyadari bahwa ada yang salah dengan sikap kami. Tapi pria itu memilih diam, mungkin mengira sikap aneh kami karena kejadian kemarin.

Aku lebih khawatir Papa Dewangga curiga kenapa tiba-tiba putranya menggandengku ketika kami berjalan masuk ke rumah.

"Lepas," desisku ke Harsya saat kami sampai di ruang tamu. Tapi cowok itu menolak melonggarkan cekalannya di pergelangan tanganku.

"Aku mau bicara sama kamu," kata Harsya.

"Aku juga mau bicara sama kamu," sahutku, "tapi di luar rumah."

"Enggak mau ah," kata Harsya. Cowok itu menanggapiku dengan santai. "Di kamar aja ya, lagian kita baru pulang kan? Kalau langsung keluar lagi nanti dimarahin lho."

Urat marahku berkedut-kedut. Kalau kami ngobrol di kamar, aku nggak bakal bisa maksa Harsya buat bicara jujur. Aku nggak bisa marah-marah bebas kayak tadi soalnya pasti bakal terdengar. Kalau begitu, Harsya bakal lebih mudah mengalihkan perhatianku ke masalah lain.

"Ya udah nanti aja, tapi di luar," kataku

"Icaaa," keluh Harsya dengan nada panjang. "Ayo ngobrol di kamarku aja. Kita bicara baik-baik, kamu mau kan?"

Uugh, aku juga maunya sih bicara baik-baik. Tapi nggak dulu, aku lebih mau tau yang sebenarnya terjadi. Apa ... apa yang bisa bikin Harsya nggak bisa—satu ide terbentuk dalam kepalaku.

"Mama!" seruku cukup keras dengan nada ceria.

Dari dapur suara Mama langsung menjawabku, "Ya, Sayang? Oh kalian udah pulang, sini ke dapur! Mama bikin kue balok cokelat."

"Mau, Ma!" seruku. Kujulurkan lidahku ke Harsya mengejek cowok itu, lalu segera melepaskan diri dan lari ke dapur.

Mama sedang menuangkan teh hangat ketika aku masuk dapur. Rambut Mama bergelombang cantik dengan bando bermotif bunga daisy. Baju Mama juga rapi, terusan berwarna krem. Saat melihatku, Mama berusaha menampilkan senyum terbaik dan menarik kursi dapur.

"Sini, Sayang," kata Mama. Mata Mama lalu menatap ke belakangku. "Oh Harsya juga sini kita makan kue bareng."

Aku nggak menoleh ke belakang dan langsung duduk di kursi yang ditarik Mama. Mama lalu menyajikan tiga potong kue balok padaku, begitu pun untuk Harsya. Nggak lama kemudian Papa Dewangga menyusul dan ikut duduk.

Harsya mungkin jengkel dengan tingkahku memanfaatkan Mama biar kami nggak perlu bicara sekarang, tapi cowok itu kini bertingkah biasa saja. Saudara tiriku dengan tenang makan sepotong kue balok lalu menyeruput teh.

"Enak, Ma," komentarku setelah menelan sepotong kue itu. "Mama bikin banyak?"

"Iya, yang lain sudah masuk kulkas. Nanti kalau kurang bilang ya? Tadi rencana Mama kita makan bareng-bareng pas masih hangat, ternyata kalian pulangnya lebih sore nggak kayak biasa," jelas Mama.

Yah, harusnya kami bisa pulang tepat waktu sih. Kalau saja Harsya nggak tiba-tiba tantrum gara-gara Ardian. Terus soal Lesta tadi.

Sebenarnya rencana cepatku cuma mau makan di dapur bareng Mama, biar Harsya nggak bisa memaksaku bicara sekarang. Di luar dugaan, ternyata orang tua kami juga punya rencana. Suasana duduk sambil makan dan minum teh ini kayak ... uhm, tegang juga ternyata.

Mama yang duduk di depanku jelas tengah menunggu waktu yang pas buat mengucapkan sesuatu. Sementara itu suaminya mengamati Mama diam-diam.

Saat kue balok kedua yang kumakan sisa setengah, Mama akhirnya berkata dengan ragu-ragu.

"Uhm ja-jadi ... hari ini Mama ke psikolog. Hasilnya ... untuk sekarang Mama nggak perlu rujukan ke psikiater tapi perlu treatment rutin ke psikolog," jelas Mama.

Weird Word🔞 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang