33. Why me?

77 1 0
                                    


Satu tahun kemudian,

Ayra dan Azka yang masih harus bersabar sekitar satu tahunan lagi dimana mereka berdua akan wisuda dan Azka akan kembali ke tanah air. Bye LDR.

Sahabat-sahabat Ayra dan sahabat Azka juga sama-sama tengah berjuang untuk wisuda taun depan. Mereka berada di universitas yang berbeda, Ripa memilih berkuliah di Jogja, sisanya masih enggan merantau dan memilih untuk kuliah di ibukota.

Walaupun berbeda kampus silaturahmi mereka sampai saat ini tidak terputus.

Setelah Azka ke luar negeri Bella juga sudah lama tidak terlihat. Ntahla Ayra berharap semoga saja ia bertobat dan tidak berulah kembali.

"Abang, tolong nanti bilangin mama sama papa kalo Ayra berangkat." Teriak Ayra dengan tangan yang sibuk mengikat tali sepatunya.

Saat ini orang tua Ayra sedang berada di luar kota menghadiri acara pernikahan rekan bisnis Mahesa. El berjalan mendekat ke arah adiknya.

"Abang anter aja ya."

Ayra menggeleng pelan, "Ayra berangkat bareng Via. Ayra ga bakal pulang malem kok."

Ayra menepuk keningnya pelan selalu saja begini, ia terlupa bahwa abangnya kini sudah berkeluarga.

"Mending abang pulang aja, takut kak Rere nungguin. Nanti pintu Ayra kunci."

"Udah ga usah di pikirin. Kak Rere juga lagi pergi sama teman- teman nya nanti sore baru abang jemput." Balas El lembut kepada adiknya itu.

"Okay deh. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati de."

Ayra berjalan menjauhi area kompleks, hari ini ia mendapat kelas siang. Selagi menunggu Via menjemput, Ayra menunggu di sisi jalan dekat kompleknya.

Hingga rasa haus tiba-tiba menghampiri. Ia pun memutuskan untuk membeli minuman di sebrang jalan, ia mulai menengok kanan dan kiri dan setelah di rasa aman ia pun mulai menyebarang jalan namun secara tiba-tiba muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi yang langsung menabrak tubuhnya hingga Ayra tidak bisa menghindar.

Brak

Gelap, hanya itu yang Ayra rasakan.

*******

"Harusnya kita ga ninggalin Ayra sendiri di rumah," mendapat kabar dari putranya bahwa putrinya mengalami kecelakaan bagaikan mimpi buruk bagi Risa.

Sudah satu jam lamanya dirinya menangis dan putrinya masih di tangani oleh dokter.

Mahesa masih menundukkan kepalanya lalu berlutut di hadapan sang istri.

"Udah mah, jangan nangis terus, cape sayang,"

"Anak kita pasti selamat."

Disisi lain El terdiam dengan pikiran yang sama kalut dengan orang tuanya.

"Ini semua salah El. El minta maaf." Ujarnya menyesal.

Mahesa bangkit dan langsung menepuk pelan bahu putra sulungnya, "ini takdir, stop menyalahkan diri sendiri. Tugas kita sekarang hanya berdoa berharap keajaiban agar adik kamu selamat."

Tak lama dokter keluar dari ugd, "bisa saya bicara dengan keluarga pasien? Mohon ikut saya ke ruangan saya."

Mahesa memejamkan kedua matanya, mendengar kabar dari dokter istrinya langsung menangis histeris ia juga sangat shock namun sebisa mungkin ia menyembunyikan hanya untuk terlihat baik-baik saja di hadapan istri dan anak sulungnya.

"Ga mungkin. Ini semua ga mungkin kan mas? Dokter pasti bercanda kan! Ayra ya Allah sayang maafin mama," teriak Risa histeris.

"Tenang ya ma, Ayra pasti sembuh." El berucap lirih dengan menggenggam kedua tangan dingin milik sang ibu. Risa memeluk El dan kembali menangis.

"Saya mengerti perasaan kalian. Jika pasien sudah sadar mohon untuk memberi tahu dengan hati-hati. Beruntung, nona Ayra masih terbilang sangat beruntung karna dalam kasus ini pasien masih dapat sembuh total meski harus di barengi dengan terapi rutin dan waktu yang tidak singkat." Ucap dokter menjelaskan.

"Terimakasih. Mohon lakukan yang terbaik untuk putri saya."

"Pasti. Kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien,"

"Oh ya satu lagi, warga yang membawa pasien mengatakan jika bisa di bilang ini korban tabrak lari. Pelaku langsung kabur dan salah satu warga yang melihat mobil pelaku mengatakan bahwa pelaku menggunakan plat nomer palsu." Ujar dokter kembali menjelaskan.

Diam-diam tangan El terkepal kuat hingga rahangnya mengeras.

"Terimakasih atas informasinya. Biar kami pihak keluarga yang mengurus semuanya." Balas Mahesa mencoba menahan emosinya namun tatapannya tidak bisa bohong, tatapan yang sangat membunuh.

Perlahan Ayra membuka kedua matanya, bau obat-obatan langsung menyeruak ke dalam indra penciumannya yang membuat dirinya cukup mual.

Tatapannya beralih ke sekeliling tidak ada seorangpun di dalam ruangan yang serba putih ini selain dirinya. Ia bertanya dalam hati dimana keluarganya berada.

Selang berapa menit pintu terbuka menampilkan mama nya dengan mata sembab di ikuti papa dan abangnya.

"Mana yang sakit sayang?" Tanya Risa begitu lembut setelah sampai di hadapan sang putri.

Ayra menggeleng pelan karna tidak ada yang sakit, hanya kepalanya yang sedikit terasa pusing.

Ayra sedikit merasa heran, sebenarnya berapa lama dirinya tidak sadarkan diri sampai bisa Ayra lihat mata papa dan abangnya pun terlihat sembab.

Apakah mereka menangis? Tunggu.... sepertinya memang ada yang salah, Ayra seperti tidak bisa merasakan kakinya. Benar, kedua kakinya seperti mati rasa bahkan tidak bisa di gerakkan. Cukup lama berperang dengan pikirannya sendiri,

Ayra beralih menatap mama, papa, serta abangnya yang masih diam.

"Kenapa kaki Ayra ga bisa di gerakin?" Tanya Ayra dengan satu kali tarikan nafas.

Mendengarnya Risa dan El kembali menundukkan kepalanya sungguh mereka tidak sanggup memberitahu Ayra. Mahesa mendekat ke arah sang putri yang masih tiduran di ranjang. Tangannya terulur mengusap lembut kepala putri kesayangannya.

"Dengerin papa ya sayang," Ayra langsung mengangguk. Sebelum melanjutkan ucapannya terdengar helaan nafas yang cukup berat.

"Untuk sementara waktu ini Ayra harus pakai kursi roda, kaki Ayra harus istirahat dulu."

"Tapi kenapa?" Tanya Ayra menatap sang papa dengan nanar.

"Kalau mau kemanapun biar abang yang gendong." El berucap tanpa melihat ke arah Adik semata wayangnya.

Spontan Ayra mengalihkan tatapannya ke arah El.

"Kenapa? jawab Ayra abang!"

Ponsel El berdering,

"Rere di bawah, El jemput dulu." Pamit El dan langsung keluar dari ruangan dengan air mata yang berhasil mengalir.

Melihat kepergian abangnya tanpa menjawab pertanyaan dari dirinya, Ayra semakin merasa takut, "Mama sama papa juga mau diem aja?"

"Ga ada yang mau jelasin?"

"Apa Ayra lumpuh?" Dengan tatapan kosong suara Ayra mulai terdengar parau, dengan gerakan cepat Risa langsung memeluk erat putrinya.

"Maafin mama sayang, maafin mama,"

"Papa minta maaf."

Mahesa ikut memeluk istri dan putrinya dengan erat, perasaannya campur aduk hatinya serasa di hantam besi ribuan ton, air mata mulai mengalir dari mata ketiganya.

Di balik pintu El menangis di pelukan sang istri. Rere berusaha menguatkan suaminya, walaupun jauh di lubuk hatinya dirinya juga sama sakitnya melihat keadaan Ayra saat ini. Bahkan Rere nyaris pingsan saking tidak percaya setelah mendengar kabar mengenai adik iparnya itu.

*******

Tolong tinggalkan jejak dengan cara vote ya, makasiii lope.

-
-
-
See you next part ;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AZKAYRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang