[empatbelas]

3.5K 256 13
                                    

KEMBALI










Bunda Anin kini menatap anak semata wayangnya yang terbaring lemah diatas brankar rumah sakit, Dipa belum juga sadar.

Perasaannya kini begitu campur aduk, kala mengetahui kabar kondisi anaknya yang mengharuskannya kembali masuk ke rumah sakit.

Mendengar kabar bahwa sang anak dirawat, dengan cepat Bunda Anin bergegas pergi kerumah sakit meninggalkan pekerjaannya yang masih menumpuk. Dirinya tak perduli, yang terpenting sekarang adalah kondisi Dipa.

Tangan lentik itu sedari tadi tak henti-hentinya mengelus surai Dipa yang terlihat tenang memejamkan matanya.

Bunda Anin sangat takut, takut terjadi sesuatu yang menimpa kepada putranya. Kejadian dahulu total membuatnya trauma dengan rumah sakit.

"Sayang ayo bangun, Bunda takut.." ujar Bunda Anin berbisik disamping telinga putranya.

Sudah lumayan lama dirinya duduk disamping Dipa, Bunda Anin lemas rasanya melihat keadaan anaknya seperti ini.

Pergerakan dari Dipa yang membuka matanya perlahan menjadi fokus perhatian Bunda Anin. Senyuman manis terbit dari bibirnya melihat sang anak yang sudah kembali sadar.

"Sayang hey?"

"Ada yang sakit?"

Dipa mengangguk pelan, kepalanya kini terasa begitu pusing.

"Bunda panggil dokter ya tunggu sebentar," pintanya dan hendak beranjak sebelum tangan dingin milik Dipa menahannya.

"Bundaa.." panggilnya dengan suara serak membuat Bunda Anin mengurungkan niatnya untuk beranjak dan menampilkan senyum hangatnya kepada anaknya.

"Iya kenapa?" Tanyanya lembut.

"Mas Bian mana Nda?" Pertanyaan itu membuat Bunda Anin terdiam, memproses apa yang baru saja putranya katakan.

Mata Bunda Anin membelak kaget, "Dipa sayang kamu sudah ingat semuanya?" Tanyanya terharu, setetes air mata mengalir begitu saja terjun bebas mengenai pipi Bunda Anin.

•••••

Tempat pemakaman menjadi tempat yang Arkabian singgahi saat ini, seusai dari rumah sakit. Entah kenapa dirinya pergi ketempat ini. Tempat yang ia benci, dimana ditempat ini sang Ibu tidur untuk selama-lamanya.

Kini Arkabian tengah berdiri didepan makam mendiang Mamanya. Ah, rasanya sudah lama sekali dirinya tidak kesini. Arkabian bukannya tidak mau berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Mamanya. Akan tetapi dirinya lemah, lemah saat berhadapan dengan makam Mamanya.

Makam mendiang Mamanya terlihat sangat bersih, bahkan terdapat bunga yang tumbuh diatas tanahnya. Arkabian memang jarang berkunjung akan tetapi dirinya selalu memakai jasa untuk membersihkan makam beliau, dirinya tidak akan membiarkan makam mendiang Mamanya seperti tidak dirawat.

"Bian disini Mah, Mama pasti seneng." Ujarnya yang kini berjongkok didepan batu nisan sang Mama.

"Maaf, maaf karena Bian jarang jenguk Mama. Mama pasti kecewa atau marah sama Bian," ujarnya kembali dengan kekehan kecil serta suara yang terdengar begitu parau.

"Lagi, Bian ngelukain Dipa Mah. Mamah pasti mau marah ya? Marah aja Mah, Bian emang bodoh."

"Bian kangen Mah." Ujar Arkabian dengan tangan yang mengusap batu nisan Mamanya.

Kepalanya menunduk, lemah Arkabian memang lemah ia akui itu saat menyangkut Mamanya.

Awan kian berubah warna menjadi gelap, seakan mendukung kekacauan yang Arkabian rasakan.

Arkabian [Boyslove]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang