Chapter 1 - The Day

188 59 20
                                    

"Juna!"
Gadis berambut panjang itu berlarian di depan. Sementara yang dipanggil masih sibuk mengambil potret indah biru yang megah di atas sana. Cantik seperti gadis yang sedang berlarian di depan sana, pikirnya.
Sebelum langit itu berubah menjadi jingga, Juna ingin mengabadikan bentuk unik awan yang menghiasinya. Namun belum sempat ia menyelesaikan hobinya itu, tawa yang ia dengar tadi berubah menjadi pekikan kencang yang sangat mengagetkan.
"Juna!"
Pemuda yang masih berseragam sekolah itu cepat mengalihkan pandangan ke arah sang gadis. Refleks, ia melepaskan kamera dari tangan. Membawa kakinya berlari sekencang mungkin.
"Tolong!"
Hari itu datang lagi. Kejadian yang Juna paling takutkan terulang lagi. Setelah sekian lama ia berdoa dan berdoa, entah mengapa Tuhan tidak mengabulkannya juga.
Juna hanya ingin teman sejak kecilnya itu bahagia. Bukan pemandangan ini yang ingin dilihatnya lagi. Wajah pucat pasi, bibir yang perlahan menghitam dan mata yang sebentar lagi akan tertutup.
Takut. Juna sangat takut.
"Edrea, bangun!" teriak Juna seraya meraih lengan Edrea yang sudah terkapar lesu. "Edrea!"
Namun gadis itu tak kunjung membuka matanya jua. Juna sejenak melihat sekitar. Tak ada siapa pun di lapangan yang luas itu. Segera ia mengangkat tubuh gadis berambut panjang yang tergerai itu. Pemuda itu membawanya sedikit berlari.

•°•°•

Juna segera terbangun dari tidur singkatnya setelah mendengar alarm berbunyi kencang. Kemudian, terdengar suara mamanya memanggil dari luar kamar.
"Juna!"
Pemuda itu keluar dari balutan selimut bergambar logo klub sepak bola favoritnya. Tangannya segera meraih jam yang masih berbunyi di atas nakas. Kemudian memaksanya untuk berhenti membunyikan alarm.
"Katanya mau berangkat pagi-pagi kamu, Juna?"
"Iya, Ma!"
Setelah menyahut, Juna segera melempar selimutnya dan bangkit dari ranjang. Tangan kanannya meraih gagang pintu dan membukanya pelan. Wajah Mama menyembul begitu saja.
"Sarapan sudah siap."
Juna hanya menjawab dengan anggukan pelan. Kemudian kembali menutup pintu ketika mamanya berbalik arah menuju dapur.
Ketika pemuda itu kembali ke ranjang dan duduk di pinggirannya, tiba-tiba terdengar dering ponselnya. Juna segera mencarinya di balik selimut. Namun ia tidak menemukannya juga. Segera ia mencari ke segala penjuru ranjang kemudian beralih ke bawah bantal.
Juna segera mengambil ponsel berbalut casing warna hitam itu dan melihat nama siapa yang terpampang di layar.
"Halo, Juna!"
Juna sedikit kaget mendengar sapaan dari seberang sana. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya setelah memencet tombol loud speaker.
"Apa? Nggak usah teriak-teriak!"
Pemuda itu kemudian meletakkan ponselnya ke atas ranjang dan melipat kedua tangan di depan dada. Sedikit dongkol.
"Kamu udah tahu belum, rombongan Heizel juga ikutan mau berangkat ke Jakarta!"
"Hah?!"
Juna langsung mengangkat lagi ponselnya. "Heizel? Ngapain?!" Kali ini malah ia yang memekik.
Terdengar tawa meledek dari lawan bicaranya tersebut.
"Buat apa lagi kalau bukan mau buktiin bahwa dia itu jauh lebih jago dari kamu?!"
"Ck!"
Juna mencebik. Belum terpikirkan untuk menjawab dengan segera.
"Kayaknya masalah Edrea masih aja mau dibawa-bawa. Sumpah lah, aku masih bingung sama kalian berdua!"
Suara di seberang masih terdengar. Namun Juna memilih diam. Ya, memang benar. Bahkan sampai sekarang, Juna masih suka memimpikan hari itu. Ia hanya menebak, mungkin hal itu juga terjadi kepada Heizel. Ya, siapa yang tahu. Heizel memang tak seperti Juna, yang jarang mengumbar isi hatinya. Namun tak sedikit Juna mengenal siapa Heizel. Ia tahu, hari itu memang tidak mudah untuk dilupakan.
"Juna!"
Berulang kali suara di seberang memanggil, hingga akhirnya Juna terbangun dari lamunannya.
"Yah, aku ngomong panjang-lebar malah nggak ditanggepin. Ngabisin kuota orang aja kamu, Juna!"
Juna tertawa kecil.
"Sori, sori, ia aku mau mandi dulu lah. Nanti kita bahas pas ketemu di basecamp!"

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang