Chapter 4 - Old Friend?

95 46 14
                                    

“TING...TONG...TING...TONG...!!!”
“Iya, iya. Bentar dooong....!!!”
Zenaya bergegas berdiri dari sofa. Dilemparnya majalah yang sedari tadi ia baca. Dan 'BLEEP', majalah itu masuk ke dalam aquarium. Lantas Si Apin, Epin, dan Kak Jos, ikan mas koki penghuni di sana langsung terkaget-kaget.
“Pasti Si Pangeran Tanpa Kuda yang dijemput tadi nih!” Naya menggerutu sambil menyeret kakinya dengan lemas menuju pintu. Telinganya serasa mau pecah mendengar suara bel yang masih meneriakinya dengan bawel. Sepertinya ia tau siapa yang sedang memencet bel.
“Tristan bawel. Bisa budeg gue!” Gadis itu berteriak seraya meraih gagang pintu.
“Cepetan, buaya!” terdengar Micah juga menggerutu dari luar. Buaya, selalu Tristan memanggil dengan nama ini pada adek semata wayangnya itu ketika kesal.
“BRAKK!!!”
Pintu terbuka. Tristan langsung menyeruak masuk dan menabrak adiknya yang masih menapakkan kaki dengan malas di tengah pintu.
Tubuh Naya hampir saja oleng ke lantai. “Gila lo!” teriaknya sambil berpegangan kuat ke daun pintu. “Lo suka ntar punya adek satu, budeg pula?!”
“Ini berat, buaya!” seru Tristan yang langsung saja membawa tas besar di tangannya ke dalam.
Mami pun menerobos masuk melewati Zenaya. Di tangannya juga ada tas besar. “Nah, silakan masuk, Arjuna. Masih ingatkah engkau dengan rumah ini?” katanya ramah.
Naya yang masih bete pun berbalik masuk tanpa melirik sedikitpun pada cowok yang kini berdiri di belakangnya.
“Masuk, yuk. Sampe kapan lo mau diem di sono?” katanya ketus pada cowok itu. Tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.
“Arjunaaaa, sini, siniiiii!” teriak Mami yang nongol dari tangga. Sambil memberi isyarat dengan tangannya yang bergerak-gerak ke arah pemuda itu.
Zenaya malah berbelok ke ruang nonton. Tak ada niat untuk mengikuti kehebohan itu. Sementara Juna, tanpa sepengetahuannya, cowok itu terus memperhatikannya sejak tadi.
Kemudian ketika cowok itu berjalan pelan ke arah tangga, dilihatnya banyak foto yang dipajang di dinding. Ia merasa seperti ada suatu kejanggalan. Ia bahkan belum menemukan foto Zenaya kecil di mana-mana.
Naya langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa. Kedua bola matanya bergerak, tampak mencari sesuatu. Ya, majalah yang tadi dia lempar. Gadis itu tertawa terbahak ketika menemukan majalah itu sedang dipelototi oleh ketiga ikan mas kokinya. Mereka terlihat seperti baru saja bertemu dengan sosok alien.
Sementara di lantai dua, Tristan membuka pintu kamar tamu yang sudah lama tak berpenghuni itu. Lalu langkah lebarnya bergerak masuk ke sana. Di belakangnya, Mami dan Juna sudah menunggu dengan barang bawaan.
“Yuk, masuk. Mulai malam ini kamu bakal istirahat di sini,” kata Mami sambil mengulas senyum yang lebar ke arah Juna.
Sementara yang diajak bicara masih merasa canggung. Namun, ia pun melangkah masuk ke ruangan itu diikuti Mami. “Wah, udah lama Juna enggak ke sini jadi lupa nih, denah rumah Tante,” katanya ramah. “Perasaan sekarang rumahnya jadi tambah luas nih, Tante.” Diletakkannya koper yang ia bawa ke lantai.
Mami tertawa, langsung senyum sumringah. “Ah, bisa aja kamu. Bukannya tambah sempit, kan kalian udah gede semua,” ujarnya yang langsung membuat Juna tertawa kecil.
Tristan menepuk pundak Juna. “Lo pasti capek kan? Mandi aja dulu. Kita bakal siapin dinner buat lo. Oke?” katanya sembari tangan kanannya dikepal dan disodorkan ke Juna, yang langsung membalas kepalan itu.
“Kita tinggal dulu ya, Juna," kata Mami sambil melangkah pelan ke luar dari kamar. Tristan pun mengekorinya dari belakang.
Dan akhirnya pintu tertutup. Arjuna yang kini sendirian masih berkecamuk dengan kebingungannya. “Apa bener yang tadi itu Zenaya?” Ia mulai bergumam sendiri.

°•°•°

“Ayo, dicicipi, Juna. Menu makan malem ini, semuanya spesial buat kamu!” seru Mami ramah sambil tersenyum lebar pada Juna seraya menyerahkan sebuah piring padanya.
Sambil meraih piringnya, Juna balas tersenyum. “Waduh. Jadi enggak enak ngerepotin Tante, nih. Porsi makannya jadi ditambah,” katanya.
Mami pun tertawa. Tangannya masih sibuk mengelap kemudian menyerahkan piring, pada Naya kali ini. “Gak apa kok, Juna. Nyantai aja lagi,” jawabnya. “Malah Mami seneng kalo ada dua anak cowok di rumah ini. Sekalian jagain Zenaya kalau Mami lagi enggak ada di rumah, secara Tristan kan agak penakut gitu.” Mami melirik Tristan yang langsung cemberut. Lantas wanita itu kembali tertawa renyah.
Zenaya yang sedari tadi diam jadi ikut tertawa mendengar celotehan Mami. Lalu ia mencuri tatap ke arah Juna, dengan sendok dan garpu di tangan. Hatinya pun mulai bergumam.  Aneh. Kok gue sama sekali enggak inget dengan cowok ini? Apalagi namanya aja enggak familiar tuh di otak gue. Masa, sih, gue pikun segitu parahnya?
Namun secara tiba-tiba Juna juga menatap Naya hingga pandangan keduanya bertemu. Naya yang kaget langsung mencoba melukis senyum di wajahnya yang sudah cenderung sinis.
“Tangan kamu lagi ngapain, Zenaya?” celetuk Juna. Ditatapnya Naya dengan sedikit bingung. Lantas gadis itu langsung menurunkan kedua tangannya yang tak sadar diletakkan di atas kepala. Masih memegang sendok dan garpu. Ia hanya diam lalu mulai mengunyah.
Melihat itu, kecurigaan Juna semakin menguat. Ia yakin sedari tadi Naya terus memperhatikan dirinya dengan tatapan yang sinis. Kenapa sih, aku kayak enggak kenal Naya yang sekarang? Dan aku kok enggak yakin kalo itu beneran Naya? Masa bisa beda banget gitu mukanya. Ia terus bergumam dalam hati.

°•°•°

Malam itu Zenaya merasa sangat gelisah. Ia jadi tidak konsentrasi belajar karena terus diliputi rasa penasaran. Tentu saja mengenai teman kecilnya yang tidak ia ingat sama sekali. Siapa lagi kalau bukan Arjuna. Dan ia merasa sepertinya tingkah pemuda itu juga aneh terhadap dirinya.
“Aduh. Kok jadi kepikiran terus ya?!” Naya bersungut-sungut kesal. Gadis itu menggeser semua buku di atas meja belajarnya sampai ke dinding. Bahkan ada beberapa buku yang terjatuh ke lantai. Kemudian, ia diam sejenak dan memutar otak.
“Hmm. Kayaknya tadi dia juga enggak ngenalin gue tuh. Dia aja enggak ngajak gue ngobrolin sesuatu layaknya temen akrab yang udah lama banget enggak ketemu,” katanya mencoba mengingat kejadian di meja makan. Untuk pertama kalinya Naya tidak mengikuti obrolan ketika makan bersama. Padahal dia paling tidak bisa diam, kecuali saat sedang sakit gigi.
“Oke, deh. Biar gue samperin aja tuh orang enggak jelas di kamarnya. Daripada gue bingung setengah mampus!” serunya kemudian. “Toh ini juga rumah keluarga gue dan dia cuma numpang bentar kan di sini.” Gadis itu lantas menyeret kedua kakinya keluar dari kamar.
Sejurus kemudian Zenaya sudah berada di depan kamar tamu yang kini dihuni oleh Juna. Langsung saja ia mengetuk pintu. Didekatkan telinga dan badannya ke pintu bercat putih itu sampai merapat.
“Halo? Boleh gue masuk?!” Gadis itu berseru. Pintu terbuka secara tiba-tiba. Zenaya yang tidak meramalkan terbukanya pintu secepat itu pun lantas kehilangan keseimbangan dan malah jatuh ke dalam pelukan si pemuda.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang