Chapter 14 - I'm so Happy

37 22 0
                                    

Seketika Zenaya langsung menganga. “Haaa ... Gue naksir sama lo?” serunya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Halo? Enggak usah kepedean deh, ya!”

Samuel tertawa. Baginya ekspresi Naya malah menunjukkan kalau dirinya sudah bisa menarik hati cewek itu. Ekspresi itu cenderung berlebihan kalau memang tak ada apa-apa di baliknya. “Ya elah, Nay. Gue cuma maen-maen aja kali,” jawab Samuel. “Lo-nya malah lebay gitu!”

Naya langsung memonyongkan bibirnya. Ia malah merasa aneh sekarang. Seperti ingin menutupi sesuatu tapi dia pun bingung apa itu. Maka dia hanya diam sementara matanya melirik Samuel yang mulai duduk tepat di depannya.

“Tau enggak sih? Gue tuh suka banget ngeliat ekspresi lo kalo lagi bete!” sambung Samuel. Dipandanginya Chelsea dan Berly yang sedari tadi memperhatikan keduanya sambil senyum sumringah. Mereka terlihat gemas.

Tak lama kemudian tawa Chelsea pun meledak. “Gue suka gaya lo!” serunya kemudian. Ia pun berdiri lalu menepuk bahu Samuel. Memberi isyarat dengan matanya, lalu menoleh ke arah Naya.

“Denger tuh, Mi. Si Samuel cuma pengen liat lo bete terus. Abisnya Mami kalo lagi bete malah ngegemesin banget!” lanjutnya sambil menatap Naya yang sudah seperti ikan kehabisan oksigen.

“Wah, berarti lo bahagia kalo Mami gue bete? Gila lo!” sambung Berly yang juga sudah tidak bisa menahan tawanya. Rambutnya bergerak-gerak karena tangannya tak berhenti mengipasi dengan buku. Begitu kuat hingga menghasilkan bunyi yang cukup berisik.

Samuel tertawa lagi karena kedua teman Naya itu. Lalu ia pun tersenyum hangat pada Naya. “So, lo jangan ngambek terus ke gue, ya, Nay,” katanya lembut. “Temen-temen lo aja pada ngerti tuh!”

Naya malah pura-pura enggak denger. Malah menguatkan bunyi kipasnya. Kepalanya bergerak ke kanan-kiri seolah begitu menikmati kipasan itu. Membuat Samuel semakin gemas. “Gue cuma pengen deket sama lo, kok. Pengen jadi temen lo. Apa enggak boleh?” lanjutnya lagi.

Kali ini jantung Naya berdegup lebih kencang. Kok gue tiba-tiba nervous gini? Gue juga gak sanggup liat senyumnya. Kok tiba-tiba dia ngomong gitu sih! Gue jadi malu banget rasanya. Bingung mau ngapain ... Naya berdesis panik dalam hatinya.

“Wah, Nay. Omongan gue enggak ditanggepin? Ya udah kalo lo enggak mau temenan sama gue. Enggak apa kok."

Naya langsung memotong. “Emang lo kira gue nganggep lo musuh apa?  Ya gue nganggep lo temen, lah. Enggak usah lebay gitu deh!” katanya cuek.

Sebenarnya sih dia nggak mau bilang begitu. "Tuh, kan? Lo ngomongnya kayak gitu? Kayaknya ketus banget kalo lagi ngomong ke gue,” jawab Samuel.

Zenaya bingung. Hm, apa iya, ya? pikirnya. “Biasa aja kok. Emang keliatan gitu?” tanggapnya. Ia mulai menggelengkan kepala.

“Iya, Mami tuh keliatan aneh banget kalo lagi ada Si Samuel!” celetuk Berly, yang langsung disikut oleh Chelsea. Benar saja Naya langsung melotot ke arahnya. "Kayaknya itu yang bisa disebut dengan salting!" lanjut Berly, yang disambut tawa Chelsea kemudian.

"Salting, apaan maksudnya?!" Naya berteriak saking malunya.

“Ya, udah deh. Lupain aja. Jadi sekarang kita temenan nggak?” tanya Samuel tanpa melepaskan tatapannya pada Naya. Lalu diulurkan tangannya ke hadapan gadis itu. “Deal?!” serunya sambil tersenyum lebar. Tampak menunggu dengan sabar sementara Naya terlihat sebal.

“Apaan sih lo? Lebay banget? Ya udah, deal deh!” jawab gadis itu sambil mengulurkan tangannya pula dan mereka pun berjabat tangan.

Samuel pun tertawa. “Gitu dong, kan enak kalo senyum.”

Naya tiba-tiba terdiam dan merasa malu. Ia tak sadar barusan sudah tersenyum. Namun malah tertawa kecil kali ini. Dan dia merasa sudah berani untuk menatap pemuda itu. Ditatapnya Samuel yang masih tersenyum padanya, begitu ia sadar Chelsea dan Berly sudah menghilang entah ke mana. “Lho? temen gue tadi pada ke mana?!” pekiknya.

“Wajahku berhasil mengalihkan duniamu!” Samuel malah menjawab dengan konyolnya.

“Alaaah... Sok kecakepan aja lo!” sahut Naya. Namun alih-alih bertengkar lagi, mereka berdua malah tertawa bareng. Memang Naya merasa sebal sekali dengan cowok yang satu ini. Dan gadis itu juga sebenarnya masih merasa bingung.

Ia tak tau perasaannya yang jadi bercampur aduk itu. Antara kesal, sebal, tapi ada juga suatu perasaan yang berbeda setiap Samuel ada di sekitarnya sehingga membuatnya jadi salah tingkah. Hanya saja dia belum bisa mendefinisikan apa itu.

Bel tanda pulang pun berbunyi. Membuat keduanya berhenti tertawa. “Asik. Pulang juga akhirnya!” seru Naya. Langsung saja ia membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tasnya yang berwarna hitam. Sejurus kemudian ia sudah berada di luar kelas. Tiba-tiba Samuel sudah ada tak jauh dari pintu kelasnya.

“Eh, Nay. Lo mau pulang bareng gue enggak?”

Naya lalu menatap Samuel. Ia tak menyangka Samuel akan mengucapkan itu. Gadis itu hanya memilih untuk tidak menjawab. Padahal di dalam hati ia sungguh ingin menjawab iya. “Hm, bareng lo?” tanyanya gengsian.

“Iya. Entar gue anter lo sekalian maen ke rumah lo,” jawab Samuel. “Mau enggak? Ntar lo tunjukkin aja jalannya. Gampang lah. Pasti nyampe ke tujuan dengan selamat.”

“Hm, lo kira gue ini paket apa?” sahut Naya sambil manyun kemudian. “Gue mesti pulang naek mobil jemputan gue. Ntar nyokap marahin gue lagi kalo gue pulang bareng cowok yang belum dia kenal,” lanjutnya.

“Oh, gitu? Kalo gitu, lo kenalin dong gue ke nyokap lo. Emang lo belum boleh pacaran ya, Nay?” tanya Samuel sambil menatap Naya.

Naya terdiam, dia cuma bisa berteriak dalam hati. Kok dia nyambung ke masalah pacaran lagi? Jangan-jangan beneran dia naksir gue?!

“Hm, enggak tau juga sih. Tapi gue emang belum pernah pacaran kok,” jawab Naya. Entah kenapa ia mulai menebak ke arah mana obrolan itu akan berakhir.

Lantas Samuel malah tertawa kecil. “Lo kok jadi ketawa gitu? Ngeledek banget kayaknya!” Ia berseru lalu kembali menatap Naya. Seketika gadis itu bete lagi.

“Eh, berarti kalo gue nganterin lo pulang. Gue jadi cowok pertama dong ya?!” Samuel berseru kegirangan. Ia pun mendekat dan kini menutupi jalan Naya.

Naya kali ini benar-benar tak sanggup untuk bicara. Bibirnya serasa beku. Bingung. Gadis itu benar-benar yakin ada sesuatu antara dia dan cowok yang kini berdiri tepat di depannya sambil nyengir kayak anak kecil.

Karena Naya hanya diam cukup lama dan tak menanggapi, senyum Samuel pun perlahan menghilang. “Ya udah, kalo gitu gue pulang sendiri aja,” ujarnya sambil menunduk dan membalikkan badan. Berjalan menjauhi Naya. “Lain kali aja kalo lo udah mau pulang bareng gue ya,” katanya lagi sambil berbalik menatap Naya dari kejauhan.

Naya menatap Samuel sambil tersenyum paksa. “Iya deh,” jawabnya singkat. Entah kenapa ia malah kecewa. Dan bingung kecewa untuk hal apa.

Sebenarnya gue ngerasain apa ya, setiap dekat sama Samuel? Apa karena dia mirip sama Gara? Sampai sekarang bahkan gue pengen tau kejelasannya, apa Gara memang sudah tiada ataukah masih ada?

Kalau memang Sagara masih ada, Naya pasti akan merasa marah pada dirinya sendiri jika memang benar nanti ia akan dekat dengan Samuel sama dengan saat gadis itu dekat dengan Gara.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang