Chapter 5 - Forgotten

67 42 7
                                    

Pintu terbuka secara tiba-tiba. Zenaya yang tidak meramalkan terbukanya pintu secepat itu pun lantas kehilangan keseimbangan dan malah jatuh ke dalam pelukan si pemuda, yaitu abangnya sendiri, Tristan.

“Buset dah, nih anak!” cetus Tristan yang rupanya dibuat sedikit kaget juga. Langsung saja ia mendorong tubuh Naya jauh-jauh.

Gadis itu pun langsung mundur. “Ih. Abang kok ada di sini juga?!” teriaknya. Sedikit malu hingga menundukkan kepalanya.

“Sssstt … berisik, ah!” seru Tristan kesal. Jemarinya langsung membetulkan rambut ikalnya yang sudah layak potong. “Emang enggak boleh kalau Abang ke sini? Atau … pengennya lo cuma berdua aja sama Juna di sini? Yeee … ketahuan nih!”

Zenaya langsung memasang pose terjelek pada abangnya itu. Ia memeletkan lidah untuk cowok bernama lengkap Tristan Gevano Nugraha itu.

“Eh, ada Naya rupanya?” sapa Juna yang kemudian sudah berdiri di belakang Tristan yang masih berada di tengah-tengah pintu.

Lha, dari mana juga cowok ini baru datang? Naya menoleh dan langsung disambut senyum hangat Juna. Sedikit kaget karena senyum yang sangat mempesona itu. Ia malah memalingkan muka saking malunya.

“Kok, masih di tengah pintu? Masuk, gih." Arjuna berucap dengan ramah.

“I–iya, Iya!” Naya malah risi dengan sikap Tristan yang begitu ramah pada semua orang. Kok, nih cowok nanggepinnya di luar dugaan banget sih? Gue kan jelas-jelas dari tadi ngejutekin dia terus. Kembali ia bergumam dalam hati.

Zenaya berjalan masuk ke dalam kamar diikuti Juna dan Tristan dari belakang. Tristan langsung saja menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menarik guling. Sementara Naya hanya duduk di pinggiran ranjang sambil menatap dongkol pada abangnya itu.

"Naya, enggak bisa tidur juga?” tanya Juna dengan suara yang lantang.
Rupanya pertanyaan itu langsung membuat Naya gugup. “A–apa?” gagapnya. Gadis itu lantas memandang Juna dengan tatapan konyol.

Juna menatap Naya dengan sebelah alis yang naik. Dibuat heran lagi dengan cara gadis itu menatap dirinya. “Maksudnya, kamu belum ngantuk nih? Udah jam sembilan. Besok kan mau sekolah,” cicitnya sambil melirik ke arah jam dinding.

Zenaya terdiam. Tiba-tiba merasa sulit untuk berkata-kata. Aneh, menghadapi cowok yang satu ini ia harus memutar otak dengan susah payah. Eh, bukannya barusan Juna kayak mau ngusir gue dari kamar ya? Apa gue ganggu mereka nih? Atau Bang Tristan juga ganggu dia?

“Ehm, iya, sih, besok sekolah,” sahut Naya dengan tangan kanan mulai menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Tapi, gue biasa kok. Malah kebiasaan gue tuh, tidurnya sekitar jam sebelas atau pernah juga enggak tidur sampe pagi.”

Juna menyipitkan kedua mata. Alisnya pun mengernyit. “Masa, sih? Malah Si Alika tuh pernah bilang kalau anak cewek enggak baik tidur kemaleman," protesnya. Cowok itu malah teringat adik cantiknya yang berkulit putih kemerahan. “Katanya, kecantikan seorang cewek bisa berkurang kalo kurang tidur.”

“Ohh, jadi lo punya pacar?” celetuk Naya. “Namanya siapa tadi?”

Juna mendadak terdiam, seperti tersentak kaget. Apa sebegitu parahnya, sampai Zenaya juga lupa dengan nama adiknya. Dulu malah Alika yang lebih akrab dengan gadis itu. Pemuda itu kembali curiga.

Sementara di dalam otaknya, Naya juga berusaha menebak sebab perubahan ekspresi di wajah Juna yang tiba-tiba. “Kenapa? Ada yang aneh dengan penampilan gue?” Ia malah melempar pertanyaan yang konyol. Ditatapnya Juna yang masih terlihat bingung.

"Aku cuma heran. Kok, kamu kayaknya enggak ingat sama sekali dengan masa lalu kita?” sahut Juna sedikit ragu. “Atau kenangan waktu kecil segitu enggak pentingnya sampe kamu enggak kangen pernah main bareng kami?”

Naya hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Ya, gue juga heran kok. Gue beneran enggak inget sedikit pun! gumamnya dalam hati.

“Udah, deh, enggak usah dipikirin!” Arjuna berseru. “Kita kan emang baru umur empat tahun waktu itu. Wajarlah kalau kamu lupa. Mana baru ketemu lagi sekarang, pas udah gede,” ujarnya sambil menyunggingkan senyum. Ia paham betul dari ekspresi gadis itu.

Zenaya jelas kalang kabut. Bagaimana tidak, Arjuna menatapnya dengan heran. “Oh, iya, iya!” Gadis itu kemudian berceloteh sambil menyampirkan rambut panjangnya ke belakang telinga. “Gue inget, kok. Cewek kan, adek lo tuh? Gue inget lah, yang cantik itu!”

Naya malah pura-pura menemukan ingatannya. “Tapi gue belum bisa inget namanya.” Ia malah tertawa kecil setelahnya. Merasa tak enakan.

“Bagus, deh, kalo kamu udah inget. Namanya Alika!" Juna langsung menyahut. Mendengar celotehan Naya barusan, ia seperti mendapat asupan semangat baru. Serasa telah menemukan sisi yang sempat menghilang dari diri Naya. Namun, tetap saja gadis itu tampak berbeda.

“Oh, Alika. Inget gue sekarang!” Gadis itu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Ia tak tahu kalau senyumnya itu malah kelihatan terlalu dipaksakan. Gue aja enggak tau nama lo siapa sebelumnya. Apalagi adek lo. Kembali ia bergumam dalam hati.

Naya lantas berdiri. “Eh, kayaknya gue udah mulai ngantuk nih. Gue mau balik ke kamar dulu, ya,” ujarnya seramah mungkin. Pusing gue. Mending gue kabur aja! Langsung saja ia keluar dari kamar itu.

Di kala baru saja mau menutup pintu, gadis itu seperti lupa akan sesuatu. Ia menjulurkan lehernya, menengok ke dalam kamar lagi. Lantas ia berteriak, “Abaaaang, bangun doooong. Ini bukan kamar lo kalee!”

°•°•°

“Nanti, deh, biar Tante yang urus pendaftaran kamu ke sekolah mereka secepatnya.”

Zenaya tiba-tiba tersedak. Langsung ia mengambil gelas berisi air putih. Sementara Tristan yang memperhatikannya lantas memonyongkan bibir.

Setelah minum gadis itu langsung berseru, “Maksud Mami, ke sekolahnya Naya sama Abang?!”

Mami dan Tristan langsung melihat ke arah sang gadis. Keduanya tampak heran dengan ekspresi di wajah Naya.

Mami pun mengerutkan kening. “Lho? Emangnya kenapa? Kan biar kalian bisa pergi dan pulang bareng nantinya." Ia berceloteh.

Mendengar itu, Naya hanya bisa tersenyum dengan paksa. Apalagi melihat Juna kini menatap dirinya dengan heran. “Eh, iya dong. Betul itu. Makanya tadi Naya mastiin biar Juna masuk ke sekolah yang sama dengan kita,” jawabnya dengan nada yang terdengar aneh di telinga.

Gadis itu langsung melirik Tristan. Seketika ilfil melihat tatapan bingung Si Cowok berambut ikal itu. “Ih, Abang kenapa, sih, natapnya kayak gitu?!” gerutunya kesal.

Mendengar itu Tristan bertambah sewot. “Lo tuh, yang kenapa? Kayak orang linglung gitu. Minum gue lo embat aja!” semprotnya kesal.

Naya melihat gelas yang ada di tangannya. “Ups. Gelas gue yang itu ya?” tanyanya malu. Jarinya menunjuk gelas di sebelah kanan piringnya yang masih berisi banyak nasi goreng.

“Dasar cewek enggak jelas!” ejek Tristan lagi. Dengan gusar ia meraih teko dan menuang lagi susu ke gelasnya.

Mami berdesis jengkel melihat tingkah kedua anaknya itu. Ia merasa malu terhadap Juna. “Udah, udah!” serunya. “Kalian tuh selalu berantem. Masih pagi udah berantem, di meja makan pula. Gak malu apa diliat Juna?!”

Naya malah berteriak, "Yeee ... kenapa mesti malu?!"

Padahal dalam hati, ia sedang cemas sendiri. Entah bagaimana nantinya satu sekolah bareng Juna, satu rumah, dan pergi-pulang bareng di satu mobil. Benar-benar, babak baru dalam hidup Zenaya baru saja mau dimulai. Dengan adanya cowok bernama Arjuna di sana.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang