Chapter 2 - I Saw You

95 47 15
                                    

Naya sangat gembira. Gadis itu tertawa tanpa henti. Sampai-sampai, penonton yang duduk di sekitarnya merasa terganggu. Berkali-kali pula ia mendapat teguran dan sindiran dari anak-anak cewek yang duduk di tribun atas, namun tak satu pun yang ia tanggapi.
Cewek kelahiran Bandung tanggal 12 September 2008 ini memang lagi bahagia banget. Ia juga baru merasakan yang namanya jadi anak putih abu-abu. Sejak masuk SMA dia memang sering keluar bareng temen geng-nya.
Siang ini, Naya dan teman-teman lagi hang-out bareng, kegiatan wajib yang mereka lakukan tiap hari minggu. Mereka suka shopping, karaoke, nonton, maen games, dan kali ini kegiatan mereka yaitu nonton lomba band indie di sekolah ternama. Sebenernya tempat mereka sekolah tiap hari, sih.
Lomba ini diikuti peserta dari berbagai sekolah. Jadi, Naya dan sahabatnya bisa nonton, have fun, sekalian cuci mata, karena mereka semua lagi pada ngejomlo. Saatnya cari cowok!
“Mi, cowok yang itu keren banget!” seru Chelsea, gadis yang duduk di sebelah Taya. Sehari-hari, Naya memang mendapat julukan ‘Mami’ oleh kedua sahabatnya, Chelsea dan Berly.
“Mana, mana?” Yang disapa lantas penasaran. Gadis cantik berambut panjang sebahu itu merayapkan kedua matanya ke arah tribun bawah.
Melihat itu, Berly pun menepuk pundak Naya. “Bukan di situ, mamiku cayang, tapi itu, tuh!” sela gadis berwajah imut itu. Lalu tangan kanannya menunjuk ke arah panggung.
“Vokalisnya, vokalisnya!” Chelsea menimpali sambil tangannya menepuk-nepuk bahu Naya.
Naya terdiam. Ia merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Namun, matanya bukan tertuju pada orang yang kedua temannya maksud. Gadis itu malah memperhatikan seorang cowok yang sedang berjalan di depan tribun bawah. Cowok itu entah kenapa menyita perhatiannya sehingga tidak lagi menghiraukan apa yang dibicarakan kedua temannya.
Aduh, ini cowok cool banget! Dari sekolah mana ya? Naya berteriak dalam hati.
“Mami, mami lagi ngeliatin apa, sih? Kita berdua enggak ditanggepin?” Celotehan Berly membuat Naya tersentak. Terbangun dari lamunannya. Lantas ia pun menoleh ke arah kedua sahabatnya lagi.
“Iya, nih!” timpal Chelsea. Cewek cantik berambut potongan bob di atas bahu.
Begitu Naya menengok, kedua temannya itu sedang menunjukkan ekspresi heran.
“Apaan, sih? Mami, ya, lagi ngelihatin cowok lah. Emang yang tadi kalian lihatin dari tadi apa?!” semprotnya. “Cowok juga kan?!”
Chelsea dan Berly saling pandang. Keduanya malah penasaran sekarang. “Serius?!” Mereka kompak berteriak.
Naya cepat-cepat melihat ke tribun bawah lagi. Beberapa detik kemudian ia mendesah panik, “Tuh, kan. Gara-gara lo pada, cowok yang gue incer malah enggak tau ke mana!” serunya kesal. Gadis berkulit putih itu lalu melotot pada keduanya.
“Ups. Sori, Mami,” cetus Berly. Gadis berambut ikal itu tersenyum lebar.
“Mi, coba liat deh vokalis itu. Keren banget lho!” Chelsea berseru. Jemari lentiknya menunjuk ke arah cowok yang sedari tadi menarik perhatiannya.
Naya tetap keukeuh. “Enggak mau. Maunya sama yang tadi doang!” Gadis itu mendengus kesal. Ekor matanya kembali menyisir ke semua tribun untuk mencari cowok tadi.

Aduh. Kemana, sih, kamu?

°•°•°

“Apa?!” Naya berteriak. “Kok, Mami enggak bilang-bilang ke Naya sebelumnya? Kenapa Naya baru dikasih tau sekarang?!”
“Ya, kalau dikasih tau dari kemaren-kemaren, sih, enggak seru lagi dong!” sela Tristan sambil mengunyah sarapannya, sandwich ala Mami yang, hm … sedap! Tristan, cowok berambut ikal itu adalah kakak kandung Naya.
“Enggak seru apanya? Abang sama Mami jahat. Sekongkol ya, enggak mau bilang ke Naya?!” Naya berseru sambil mulai menggigit sandwich-nya juga.
Tristan tertawa. Melihat adik satu-satunya itu cemberut, membuatnya geli. Cowok itu memang suka sekali menjahili sang adik hanya karena ingin melihatnya cemberut. Namun, jauh di lubuk hati, ia amat menyayangi adiknya tersebut.
“Kok, cuma kita aja yang dibilang sekongkol? Papimu juga tuh!” sahut Mami. Wanita dengan ciri khas rambut dicepol tinggi itu memandang kedua anaknya sambil tersenyum lebar.
“Ya, lain, dong. Papi kan lagi di luar kota,” protes Naya. Wajahnya mulai ditekuk. Kesal.
Melihat itu, Tristan malah tertawa kecil. “Denger, ya, adikku yang manis,” sahutnya. “Kita sepakat enggak mau ngasih tahu kamu. Karena, kita enggak mau kamu bilang enggak setuju. Kamu pasti ilfil kan, kalau tinggal seatap sama cowok lain yang sebaya?”
“Ih!” Naya lantas memekik. “Ya, bener juga, sih. Tapi seenggaknya bilang-bilang dulu dong, ke Naya. Lagian siapa, sih, kok, ikut-ikutan tinggal di sini? Korban tsunami?!”
“Kamu udah kenal, kok. Dulu waktu kamu kecil kan sering maen sama dia. Anaknya Tante Risa yang tinggal di Bandung,” sahut Mami sambil menuangkan susu ke gelas Naya yang kosong.
“Oh, ya? Perasaan, Naya baru denger, deh, yang namanya Tante Risa. Trus anaknya namanya siapa tuh, yang mau tinggal di sini?” Naya berceloteh sembari meletakkan kembali sandwich-nya ke atas piring. Matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat.
“Juna, temen kamu kecil dulu,” sela Tristan. “Masa kamu lupa, sih? Padahal pernah makan bareng, tidur bareng, mandi pun suka bareng.”
“Ih, apa iya? Suwer, deh. Naya enggak inget sama sekali!” seru gadis itu keukeuh. Ia jadi kesal sendiri kenapa sama sekali tak mengingat tentang yang namanya Juna atau pun Tante Risa.
Mami membereskan piring-piring yang sudah kosong, lalu mengelap meja. “Wajar sih, Bang, kalau Naya lupa. Dia juga baru umur empat tahun waktu itu. Masuk TK pun belum,” sahutnya.
“Jadi jam berapa nyampenya?” seloroh Naya dengan memasang tatapan polosnya. “Jangan sampe pas dia dateng, gue entah lagi ngapain. Lagi ketiduran di sofa mungkin, sambil ileran.”
Tristan lalu mengacak rambut Naya saking gemasnya. “Tadi kan udah dibilang. Nyampenya malem ntar. O’on banget sih, adekku ini!” serunya. Lantas tertawa geli.
“Ih … Abang. Hobi banget, nih, ngacak rambut Naya. Nanti rusak!” Naya mendengus kesal. Terus menyingkirkan lengan sang kakak yang mengarah nakal padanya.
Tristan malah tertawa-tawa sambil berlari meninggalkannya. Sementara itu, Naya mulai menyisiri rambutnya yang kusut dengan jari.
“Ayo, Naya, Tristan. Pak Karyo udah nungguin tuh!” teriak Mami yang sedang mengangkut piring dan gelas kotor ke dapur. Ia melirik ke luar jendela. Terlihat supirnya mulai membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
“Oke, Mami. Kita berangkat dulu ya. Bye, Mami!” pamit Naya sambil merapikan rambutnya sekali lagi.
“Iya, hati-hati ya, Sayang!” Terdengar Mami menyahut dari dapur. Masih sibuk berkutat dengan perlengkapan makan yang kotor.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang