Chapter 12 - A Love Story

44 26 0
                                    

Arjuna sedari tadi menunduk. “Gue juga awalnya belum sadar dengan apa yang gue liat, Nay,” kata cowok itu lirih. “Gue pikir, gue cuma berhalusinasi setiap gue ngeliat dia. Gue juga enggak nyangka kalo dia bener-bener mirip sama Rea.”

Zenaya menggeleng. “Gue tiba-tiba ngerasain sesuatu pas liat foto itu, Juna,” desisnya pelan. “Gue kayak ngerasain rindu banget sama seseorang. Dan pada saat yang sama, gue ngerasa kayak lagi kehilangan seseorang. Tapi gue kan enggak tau siapa orang itu.”

Gadis itu malah kalut sendiri, bingung dengan apa yang sedang ia rasakan.

“Gue masih berusaha untuk ngelupain semuanya, Nay,” lanjut Juna. “Gue lagi berusaha ngehindarin semua hal yang bisa ngingetin gue sama Edrea lagi, tapi gue tersiksa, Nay. Gue enggak sanggup, untuk buang fotonya aja gue enggak rela. Apalagi kalau kehilangan dia selamanya."

“Lo enggak akan pernah bisa ngelupain Rea, Juna,” kata Naya berusaha menenangkan cowok itu. “Dan lo juga enggak semestinya berusaha ngebuang Rea dari benak lo. Dia bakalan hidup di hati lo. Karena dia pergi bukan karena dia pengen, tapi itu udah takdirnya, Juna.”

Arjuna lalu menatap Naya, ia menemukan sesuatu yang sama persis antara Edrea dan gadis itu. Suara Naya benar-benar mirip dengan Edrea. Dan ada satu hal lagi, ia juga bisa merasakan ketenangan yang selalu ia rasakan saat bersama Rea dulu. “Suara lo bener-bener persis dengan milik Rea,” desisnya.

Ditatap dengan pandangan mata yang seperti itu, jantung Naya jadi berdegup kencang. Ia bingung, maka hanya tersenyum tipis yang bisa lakukan saat ini. Namun ia bisa membayangkan apa yang dirasakan Juna saat ini.

Seandainya salah satu dari anggota keluarganya atau sahabatnya yang ia sangat sayangi meninggal, ia pasti merasakan kesedihan seperti yang Juna rasakan saat ini. Ya, sama seperti kabar bahwa Sagara sudah tiada. Ia kaget, sedih, sekaligus tak percaya.

“Naya, liat siapa yang dateng!” Terdengar suara Mami memecah sepinya suasana. Naya dan Juna yang sedikit kaget pun refleks menengok ke asal suara itu.

“Mami...!!!”

Zenaya langsung saja berlari menghampiri kedua sahabatnya itu, Chelsea dan Berly. Entah kenapa tak seperti biasanya, ia langsung memeluk keduanya.

Kedua sahabatnya itu saling pandang, mereka heran dengan sikap Naya kali ini. Lalu Naya gantian memeluk Maminya, yang membuat wanita yang sudah menginjak 40 tahun itu kaget.

“Alaah, kayak udah enggak ketemu seratus tahun aja!” ejek Tristan yang tiba-tiba nongol di tangga. Naya melepaskan pelukannya sambil tertawa.

Tristan langsung saja kaget, tiba-tiba Naya berlarian dan juga memeluknya. “Eh, apa-apaan sih, dek?!” tanyanya bingung. “Lo kayak mau pergi kemana gitu. Lo kumat lagi ya?!”

Juna yang sedari tadi diam melihat pemandangan itu hanya tersenyum. Cowok itu lalu berjalan menghampiri yang lainnya.

“Gue belum siap kehilangan lo semua," kata Naya di sela tawanya.

Tristan terdiam, lalu tiba-tiba ia tersenyum. Ia lalu mengacak-acak rambut Naya. “Siapa juga yang mau ninggalin lo, adekku sayang?!” katanya gemas.

Naya tertawa lagi. “Eh, enggak biasanya Abang manggil Naya 'adek'?!” pekiknya. Tristan malah lanjut mengacak rambut gadis itu lagi.

°•°•°

Hazel berjalan sendirian di koridor sekolah. Kedua sahabatnya, Giska dan Dania sedang mengikuti remedial Matematika. Otomatis kali ini dia harus makan di kantin sendirian.

“Mau ke kantin, Dek?”

Hazel refleks menoleh begitu mendengar seseorang menyapanya. Ternyata Kiano yang kini berdiri di belakangnya. Kakak kelas sebelas. Anak basket. Cowok manis itu tersenyum.

“Eh, elo, Kak? Iya nih, gue mau makan di kantin,” jawab Hazel sambil membalas senyuman Kiano.

“Bareng yok. Tumben sendirian aja nih?” kata Kiano kemudian. Keduanya pun kini berjalan berdua menuju kantin sambil mengobrol ringan.

Sejurus kemudian mereka tengah duduk berdampingan di bangku kantin. Keduanya menyantap menu yang sama, semangkuk mie ayam dan segelas es teh. Layaknya teman, mereka pun asyik mengobrol.

"Kamu jadi kan, masuk basket juga?"

"Hm, dari mana kakak bisa tahu?" tanya Hazel yang kemudian memasukkan mie ayam ke mulutnya. Kuahnya yang pedas membuat bibir gadis itu semakin merah merona. Dan dahinya sedikit berkeringat sehingga sesekali ia harus mengelapnya dengan tisu.

"Jangan sebut nama gue Kiano kalau enggak tau apa-apa tentang siswa-siswi di sekolah ini." Kiano tertawa kecil kemudian. Senyumnya mengembang. "Ya, jangan kuatir, di basket kan ada gue."

Hazel meletakkan sendok dan garpunya ke mangkuk. "Memangnya kenapa mesti kuatir?" Ia bertanya dengan polos.

"Ya, kan kamu orangnya kayak gini." Kiano terlihat gemas sendiri berbicara dengan gadis di sampingnya. "Ah, aku tahu siapa kakak kamu yang baru aja jadi alumni sini."

Hazel bertambah bingung. "Orangnya kayak gini, gimana maksudnya sih, Kak?" Kembali ia bertanya.

"Enggak apa, kalau ada apa-apa sama kamu kan, nanti aku tinggal kasih tahu aja sama kakak kamu."

"Idih, emang kakak udah cerita apa aja sama Kak Sheryl?" Hazel malah terbayang wajah Sheryl yang tertawa sambil mendengarkan cerita dari Kiano.

"Gue cerita waktu bantuin razia barang lo banyak yang disita sama guru piket," jawab Kiano cepat. "Tapi setelah itu, besoknya lo jadi lebih baik karena nggak pake aksesoris kayak gitu lagi."

"Hm, kalau cerita itu mah, gue juga udah bilang ke Kak Sheryl."
"Lo emang persis Kak Sheryl sih, taat aturan sampe kepang dua terus kayak gini. Cuma bedanya kakak lo lebih tomboy aja."
"Terus, bedanya apa lagi?"
"Cantikan kakak lo kalau dibandingin sama lo sih."
"Rese ah!"

Tiba-tiba saja, The Naughty datang menghampiri meja Kiano dan Hazel.

"Permisi, Kakak. Kami mau bantu bagikan brosur, boleh?" Zenaya yang berbicara sambil memberikan lembaran brosur pada Hazel.

"Jangan ragu masuk futsal, ada banyak kakak kelas yang ganteng di sana!" Berly berkata sedikit berteriak.

Hazel dan Kiano sama-sama bingung. Terutama Hazel, bisa-bisanya sedang membahas mau masuk basket, mereka malah datang dan mempromosikan futsal padanya.

"Kakak kelas ganteng, lah, yang dipromosikan," cetus Kiano. Kemudian menoleh pada Hazel. "Di basket ada gue, temen-temen gue juga pada cakep."

"Ya, jelas kalah ganteng lah, sama geng-nya Kak Heizel!" Kali ini Chelsea yang berteriak.

Kiano tertawa kemudian. "Owalah, jadi Heizel ini, yang punya kerjaan!"

Zenaya menatap Kiano kemudian. "Jauh-jauh dikit ya. Kalian bukan muhrim!"

"Lah, ini anak sejak kapan jadi tukang bagikan brosur?" Kiano merebut satu lembar dari tangan Chelsea, kemudian membacanya. "Memangnya kalian bertiga anak futsal?"

"Lah iya, emang baru tahu?" cetus Berly sambil menatap sinis pada lawan bicaranya itu.

"Ya, nggak tahu lah. Saya kan tempe!" Kiano buru-buru menyahut. Disusul tawa meledek.

"Garing banget!" Zenaya langsung menimpali.

"Ya, enggak lah, gue kan enggak digoreng!" Kiano menyahut lagi.

"Udah, diem lo, Kiano. Mau gue rebus sekarang?!" Chelsea ikut-ikutan emosi. Sementara yang diajak duel malah tertawa terpingkal-pingkal.

Hazel malah kebingungan. "Aduh, kenapa malah berantem sih?!" serunya panik.

"Dek, pokoknya elo mesti masuk futsal. Di futsal juga ada gue!" teriak Zenaya.

"Lah, sejak kapan?!" Kiano buru-buru menimpali.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang