Diperlakukan seperti itu, Zenaya malah deg-degan. Gimana enggak? Inilah cowok yang selama ini ia cari. Dan akhirnya untuk menatap lagi wajah cowok itu pun dia gak berani. Malu. “Gue Zena ...." ucapnya terbata.
“Udah tau kok. Zenaya Indira Nugraha,” potong Heizel cepat.
Naya pun semakin kaget. Apa yang ada di pikirannya jadi enggak karuan. Omongan dan perilaku Heizel barusan jadi seperti sebuah film pendek yang diputar berulang di otaknya.
Heizel lalu berbalik dan meninggalkan Naya sendirian. Gadis itu masih berdiri mematung. Bengong seperti orang linglung. Sementara cowok itu melangkah semakin menjauh darinya.
Heizel, ya, namanya? Kenapa baru bisa ketemu sekarang sih? Dan kenapa bisa tiba-tiba begini? Kenapa juga dia rupanya seagresif itu? Padahal kan udah lama banget sejak kita ketemu pertama kali. Eh, bukan ketemu sih. Tapi gue yang ngeliat lo secara enggak disengaja. Ya, di antara keramaian itu cuma lo yang bisa gue liat dengan jelas.
Ia lalu menunduk menatap buku catatan fisika miliknya. Buku yang sudah lama menghilang itu kini ia pegang. Sudah lama sekali ia tidak memegang buku itu. Dan ajaibnya, ternyata yang menemukan buku itu adalah cowok yang ia rindukan selama ini. Dan cowok itu pun datang sendiri untuk mengembalikan lagi kepadanya. Semanis itu.
“Lho? Kok banyak coretan gini?!”
Zenaya membolak-balik isi buku itu dengan kedua alis yang mengernyit. Kaget. Kemudian ia membaca coretan yang nampaknya ditulis oleh Heizel dengan sengaja:
Tulisannya aja catatan fisika, kok yang dicatat semuanya malah enggak penting dan enggak ada hubungannya sama sekali ke fisika? Curhatan-lah, apa-lah, sampe ada foto narsisnya lagi!
Naya langsung saja malu sekaligus terbakar emosi. Apalagi saat melihat ada gambar emotikon tertawa sambil menangis persis seperti di pesan singkat.
“Sialan banget sih tuh cowok. Beraninya lewat tulisan? Ngomong langsung dong!” gerutunya.
Gadis itu baru ingat kalau ia pernah menyelipkan foto-fotonya di dalam buku itu. Langsung saja ia memeriksa isinya. Namun seperti yang ia bayangkan, pasti ada sesuatu. Ya, di belakang foto-foto itu Heizel sudah mencantumkan berbagai komentar yang makin membuat Naya kesal.
“Sialaaan ... Brengseeekk ... Awas lo Heizeeeelllll .....!!!!!!!!”
°•°•°
“Kalo dia beneran cowok yang Mami liat pas Lomba Band di sekolah, siapa tau dia beneran pangeran yang diciptain Tuhan buat Mami!” seru Chelsea sambil merebut bungkusan snack dari tangan Berly.
Berly manggut-manggut. “Betul, Mi. Lagian ngapain dia repot-repot nyimpen catatan Fisika Mami yang dia temuin di tribun?!” sahutnya antusias.
“Apa jangan-jangan karena dia penasaran setelah liat semua foto Mami di buku itu, dia bela-belain pindah sekolah? Mungkin dia selalu mimpiin Mami!” Chelsea menimpali lagi. Membuat Berly manggut kegirangan.
"Orangnya yang mana sih, Mi?" Baru saja Berly bertanya, kedua gadis itu langsung melihat ke arah yang sedang dilihat Naya. Mereka heran, dari sekian ramainya isi kantin tersebut, apa yang tengah mengalihkan Naya dari obrolan mereka hingga se-fokus itu.
"Oh, lagi ngeliatin Arjuna rupanya?" Berly kembali buka suara.
"Ciyeee ... kenapa fokus banget sih?" Chelsea menimpali sambil menyenggol bahu Naya yang masih fokus ke arah yang sedang dilihatnya. Ya, memang ada Juna di depan sana.
"Heizel!"
Suara nyaring seorang gadis membuat Arjuna lantas menolehkan kepala dengan refleks. Kedua kakinya pun berhenti melangkah.
"Heizel, tunggu!"
Tidak. Sepertinya bahkan jantung Juna seolah berhenti berdetak. Namun ini bukan mimpi. Ia pun bingung, sebenarnya yang dilihatnya hanyalah ilusi atau bukan. Atau ia hanya merasa seperti itu karena kerinduannya semata akan sosok gadis tersebut.
Yang dipanggil lantas menolehkan kepala. Kaget. Ya, kaget karena ada cowok yang sedang berdiri menatapnya di depan sana. Arjuna.
Ternyata dia juga ada di sini?!
Heizel memandang Juna dengan gigi yang gemeretak. Menahan emosi sebisanya. Tatapan yang beradu itu seperti dua buah pedang yang saling dilempar satu sama lain.
Dia ... tau dari mana?
Namun pertanyaan itu hanya berakhir di dalam hati Heizel saja tatkala tatapannya kembali beralih pada sosok dua orang gadis yang berdiri tepat di hadapannya.
"K--kakak ... kenapa mau ketemu saya?"
Heizel buru-buru menatap gadis berkepang dua itu. Yang jelas terlihat malu-malu. Seperti bingung harus menatap lawan bicaranya atau tidak.
"Heizel, gue udah repot-repot bawa dia lari dari rombongan ke sini lho!" Gadis yang satu lagi hampir berteriak. "Bisa-bisanya elo diem kayak patung gitu!"
"K--kamu ... Hazel Cloudia Riansyah?"
Padahal, yang sedang mengalihkan pandangan dengan malu-malu itu hanya tidak tahu apa yang dirasakan lawan bicaranya. Sama-sama deg-degan. Bingung dengan perasaan masing-masing.
"I--iya, Kak. Ada apa ya?" Gadis yang rupanya bernama Hazel itu kini mencoba menatap kedua netra cokelat yang dilapisi bening lensa kacamatanya.
"Salam kenal, Hazel," jawab Heizel pelan. "Namaku ... Heizel." Tangan kanannya diulurkan di depan wajah gadis itu.
"Lah ... kok, mirip ya?"
"Udah, buruan dijabat tangan kakaknya!" teriak gadis di samping Hazel sambil menyenggol bahunya.
"I--iya, Kak!" Hazel menyahut cepat sambil menyodorkan tangan kanannya juga.
Ketika kedua tangan itu saling menjabat, gadis berambut pendek sebahu itu tertawa nyaring. "Ada apaan, nih, sampe hapal nama lengkapnya segala?!" ledeknya. "Kok, gue jadi curiga, jangan-jangan elo belain pindah sekolah jauh ke sini cuma mau cari ini anak?!"
"Ah, apaan, mau tau aja urusan orang," timpal Heizel malu. "Udah sana, bawa pulang ke markas. Nanti malam aku kirimin kuota kalau malas jawab chat."
Gadis itu tertawa lagi. Kali ini lebih keras. "Tiap hari aja elo beliin gue kuota, cuma biar dibales cepet chatnya. Nanyain anak orang lagi. Males banget gue!"
"Udah, diem lo!" Heizel pun melewati kedua gadis itu begitu saja. Menuju ke arah Arjuna yang masih berdiri di sana. Ia heran. Karena itu ia merasa ada yang perlu cepat diselesaikan di sana.
"Woy, Heizel, segitu aja nih?!" Gadis di belakangnya kembali berteriak. "Gue udah repot-repot bawa dia kemari cuma buat ketemu sama elo, terus segitu doang?!"
Heizel seakan tak peduli dengan teriakan itu. Ada Arjuna yang sedang menatapnya dengan sengit di sana. Namun Heizel hanya mendekatinya dan berkata sangat pelan, agar tak terdengar oleh siapa pun di sana.
"Gue ingetin sama lo. Edrea memang punya lo, tapi, Hazel punya gue."
Setelah berkata seperti itu, Heizel berlalu begitu saja. Tak tahu bahwa di belakangnya, Juna menoleh untuk sekedar menatap punggungnya yang semakin menjauh. Kemudian, tatapan Juna kembali teralih pada gadis berambut sebahu dan gadis berkepang dua di sebelahnya. Dua gadis itu berlari pontang-panting.
"Buruan, kita ditunggu di lapangan!"
"Ngapain juga sih, Kak?!""Itu, kan, anak kelas sepuluh, terus, yang pakai kacamata itu siapa ya?" Berly bertanya pada kedua sahabatnya yang masih melihat ke arah tersebut. "Gue baru liat, ada cowok keren lagi rupanya di sekolah kita!"
"Yang gue heran tuh, Arjuna kenapa ya?" Chelsea menimpali sambil kemudian menyeruput es jeruknya. "Kayaknya, ada sesuatu deh, di antara kedua cowok itu."
"Iya sih, gue juga penasaran ada apa sebenarnya. Sama anak cupu yang satu itu juga, yang tadi jabat tangan sama cowok berkacamata."
Sementara kedua sahabatnya saling mengutarakan pendapat masing-masing atas apa yang barusan mereka lihat, Naya hanya diam saja. Ia berpikir, apakah ia harus ikut campur dan bertanya nanti kepada Juna atau tidak. Namun, masalahnya cowok yang menarik perhatiannya juga ada di sana tadi.
"Menurut kalian, apa gue boleh ikut campur?"
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]
RomanceMau bantu pecahkan teka-teki bareng Zenaya? 👀 Hai, teman-teman. Cerita ini dibuat untuk mengikuti event Pensi Volume 8 oleh Teorikata Pubslihing dan Lapas Penulis . Mohon komentar, vote, bantuan, serta doanya ya! Terima kasih ☺️