Chapter 7 - Mysterious Boy

61 35 5
                                    

Arjuna bangkit dari lamunannya, ia langsung berjalan ke arah pintu. “Maaf, Naya. Aku enggak sadar kalau kamu manggil,” katanya sambil menarik gagang pintu.

Pintu membuka dan menyembul wajah Zenaya dari sana. Terlihat kedua alisnya naik.

“Lo kenapa, Juna?”
“Kenapa gimana, maksudnya?”

Naya memperhatikan wajah Juna dengan seksama. “Lo kayak lesu gitu. Lagi enggak enak badan?” tanyanya kemudian.

Juna membasuh wajah dengan kedua tangan. “Ah, masa sih?” kilahnya. “Aku ngerasa biasa-biasa aja kok. Emang keliatan begitu ya?”

Naya merasa ada yang aneh dengan jawaban Juna. “Hm, ya udah kalo gitu,” katanya. “Di depan ada temen-temen gue tuh. Mau kenalan sama lo.”

Juna hanya tersenyum. “Oh, gitu? Ya udah, ntar gue turun," jawabnya pelan.

“Iya. Cepet ya,” sahut Naya. "Soalnya temen-temen gue rada genit, kalau enggak diikutin maunya pasti heboh. Padahal, di sekolah besok kan bisa."

Tiba-tiba ia melihat sesuatu di tangan Juna. “Eh, foto siapa tuh?!” serunya lumayan nyaring. Yang langsung membuat Juna sedikit kaget.

Arjuna langsung menyembunyikan pigura di tangannya ke belakang punggung. “Foto keluarga aku, kok. Mau aku pajang di dinding tadinya." Entah kenapa ia malah berdusta. Padahal, mengatakan hal itu saja hampir membuat jantungnya copot.

Naya pun menganggukkan kepala. Namun ia masih saja terheran-heran dengan ekspresi tak biasa dari cowok itu. “Oh. Ya udah, gue turun dulu ya.”

°•°•°

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Naya buru-buru menuruni tangga. Ia baru saja selesai membaca di perpustakaan. Tidak terasa sampai hari ini sudah hampir satu bulan Juna tinggal di rumahnya. Dan hubungan mereka semakin membaik. Ia mulai bisa akrab dengan cowok itu.

“Aduhh ... turun tangga dari lantai 3 mau ke lantai 1 kayak gini rasanya? Bisa kurus juga nih gue!” gerutu Naya. Ia masih saja berlari.

“Eh, berisik banget sih suara lo lari? Jalan aja kenapa?!”

Tiba-tiba seorang cowok sudah nangkring saja di tangga sambil menyandarkan tubuhnya yang tinggi ke dinding. Tentu saja ia menghalangi langkah Naya. Cowok itu memalingkan muka, mulai bersiul panjang. Seolah apapun yang berada di sekitarnya tidak menarik sama sekali.

Zenaya tidak mengenal siapa cowok yang terlihat cuek itu. Bahkan ia merasa baru pertama kali melihat wajah cowok itu di sekolah ini. Maka ia putuskan untuk mengabaikannya saja.

“Eh, minggir lo. Lo enggak denger apa bel udah bunyi?!” teriaknya malas. Ia pun malas menatap wajah si cowok.

“Lo pikir gue budeg?” sahut cowok itu. Mengernyitkan kedua alisnya yang tebal seraya kembali menatap Naya. Masih memasang muka yang jutek. “Enggak usah teriak-teriak bisa kali ya!” Ia malah ikut berteriak.

Rese' banget sih nih orang! Naya menggerutu dalam hati. Si cowok pun berdiri dari posisi duduknya lantas Naya cepat-cepat melewatinya. Namun belum jauh, gadis itu tiba-tiba menghentikan langkah. Rasanya seperti mengingat sesuatu. Ia pun berbalik naik lagi menuju tempat cowok itu masih berdiri.

“Kenapa lo naek lagi?” tanya cowok berambut ikal itu dengan heran. Tampangnya makin keliatan jutek saja. Naya memperhatikan cowok itu dengan seksama. Cukup lama ia mengingat-ingat.

“Kenapa sih? Lo kenal sama gue ya?!”

“Gue kayak pernah liat lo sebelumnya,” jawab Naya. Ia kembali mengingat-ingat. Lantas ditatapnya lagi wajah cowok itu lekat-lekat. Enggak salah lagi! Ya ampun, ini kan cowok yang gue liat di Lomba band di sekolah ini tahun kemarin?!

Naya mulai berteriak-teriak kencang di dalam hati. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Ternyata dia sekolah di sini juga? Kok bisa baru liatnya sekarang sih? Ah, enggak. Pasti dia anak pindahan atau gimana lah.

Cowok itu tersenyum. Namun masih saja terlihat jutek. “Ah, masa sih?” katanya. “Gue aja enggak pernah liat lo kok.” Ia mulai tertawa meledek.

Mendapat tanggapan yang seperti itu, lantas Naya tiba-tiba merasa bete. Ia memutuskan untuk berbalik dan kembali menuruni tangga. Dalam hati ia merasa sangat kesal.

Sementara cowok itu masih tertawa di belakang sana. “Eh, tunggu!” tiba-tiba ia berteriak lumayan nyaring.

Naya bisa mendengar itu. Namun masih saja ia menuruni tangga dan tidak menoleh sedikit pun. Ia sudah terlanjur kecewa dan malu.

“Eh, Zenaya Irina Nugraha ...!!!”

Mendengar itu, Naya langsung berhenti melangkah. Ia berbalik, memandang Si Cowok yang kemudian dengan cepat turun menghampirinya.

“Ada apa lagi sih? Tuh buktinya lo tau nama lengkap gue?” tanya Naya heran. “Padahal nama lo pun gue sama sekali enggak tau!”

Si Cowok tersenyum. Ia mulai  mengeluarkan sesuatu dari balik baju kemeja seragamnya yang memang tidak dikancing. Tapi ia memakai kaos putih di baliknya. “Lo tuh jangan maen kabur aja,” katanya. “Gue tuh dari tadi duduk di sini. Nungguin lo lewat. Udah kayak ikan yang dijemur sampe kering, tau enggak?!”

Naya mengernyitkan alis. “Nungguin gimana? Gue enggak ngerti maksud omongan lo!” jawabnya bingung.

Si Cowok tersenyum lagi. Lalu menunjukkan sebuah buku di tangannya tepat di depan wajah Naya. Yang tadi ia ambil dari balik kemeja seragamnya.

Naya memperhatikan buku itu, ia langsung berseru. “Eh, ini kan punya gue?!” Langsung saja ia rebut buku itu. “Kok bisa ada di tangan lo sih?!”

“Emang punya lo. Makanya mau gue balikin,” jawab Cowok itu. “Gue nemuin itu pas gue ikut lomba band di sini. Buku itu tergeletak begitu aja di tribun. Ya waktu itu gue kepanasan, trus gue pungut aja buat dijadiin kipas.”

“Eh, itu kan udah lama banget. Udah hampir setahun yang lalu. Kok baru dibalikin sekarang?!” seru Naya, tapi Si Cowok tak menggubris. Malah berlalu menuruni tangga begitu saja, dengan tangan di atas melambai pelan.

Tentu saja Naya merasa kesal bukan kepalang. Ia lalu mengikuti cowok itu menuruni tangga. “Eh, gue tanya ke lo. Kok baru lo balikin sekarang? Setahun tuh bukan waktu yang singkat, tau!” teriaknya.

“Bawel banget sih lo? Gue baru bisa balikin sekarang!” jawab Si Cowok tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

“Emang kemana aja lo selama ini?!” Naya berteriak lagi. “Lo juga baru kelihatan hari ini tuh batang hidungnya. Lo anak kelas mana aja gue enggak tau. Enggak eksis banget sih lo!” Naya lebih mengeraskan lagi volume suaranya.

Si Cowok malah makin mempercepat langkahnya. “Cerewet banget lo ya. Bukannya makasih bukunya udah gue balikin. Malah gue nungguin lo baca satu buku aja lamanya minta ampun,” katanya dengan nada malas.

Naya mengernyitkan alis. “Ya udah, makasih banyak!” serunya makin kesal. Siapa sih nih cowok belagu amat? pikirnya. Ia malah semakin penasaran. Dipercepatnya langkah, mengikuti cowok itu.

“Jadi lo tadi ngikutin gue di perpus? Ngapain lo repot-repot nungguin gue, kan besok bisa?”

“Banyak omong banget lo ya?!” jawab Si Cowok dengan cuek. “Lo enggak tau gue siapa, ya pasti dong. Emang gue belum eksis, tapi bentar lagi juga elo pasti tau gue siapa kok.”

“Halaaaah? Ya udah terima aja tuh kalo lo enggak terkenal di sekolah ini!” sahut Naya meledek.

Cowok itu kali ini berhenti. Ia berbalik dengan mendadak sehingga Naya hampir menabraknya. Gadis itu benar-benar kaget.

“Kenalin, ya. Naya yang cantik, gue Heizel. Dan gue baru jadi siswa  di sekolah ini satu jam yang lalu,” kata cowok yang rupanya bernama Heizel itu. Sambil tersenyum manis, ia langsung menarik tangan kanan Naya. Memaksa untuk menjabatkan tangan gadis itu pada tangannya.

To be continued

De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang