"Mama dan Papa setuju kalau aku tinggal di rumah kalian. Karena keluarga kami yang lain sibuk ngurusin anak mereka yang masih kecil-kecil. "
Arjuna diam sebentar sampai selesai mengunyah.“Dan ortu enggak bakal setuju kalo aku tinggal di rumah kos.”
“Kenapa enggak setuju di rumah kos? Bukannya bisa lebih mandiri?” Zenaya langsung menimpali.
“Mereka enggak percaya lagi sama aku, Nay. Semenjak bertengkar hebat sama temenku sendiri terkait masalah Edrea dulu. Dan itu juga sebabnya aku jadi dipindah ke sini,” lanjut Juna dengan mata menerawang. Ia menunduk, kembali mengingat hari-hari kelam itu.
“Masalah Edrea? Rebutan cewek maksudnya?” tebak Naya.
“Mereka kira sih kayak gitu. Lagian, aku kan anak cowok satu-satunya yang selalu merasa bebas, Nay. Ortu aku selalu enggak ada di rumah, sibuk kerja. Mereka pikir aku ini udah ngapa-ngapain sama Nata. Mereka nyangkain kalo pergaulan kamu di sekolah tuh enggak bener,” jelas Juna. “Apalagi pas salah satu dari ortu dipanggil ke sekolah gara-gara aku berantem."
“Hm, kalo boleh tahu, lo berantem tuh karena Edrea aja atau apa gitu?”
"Aku berantem sama temen yang paling deket sama malah, Nay. Dia rupanya juga suka sama Edrea sudah sejak lama. Aku baru tahu pas Rea meninggal, dia baru bilang semuanya. Dia pendem perasaan itu sampe Rea meninggal,” kata Juna mulai menceritakan masa lalunya.
“Edrea tuh sakit-sakitan sejak dia kecil, kita tau dia mesti dioperasi pas mereka lagi di Jakarta waktu itu. Dan pas udah pulang, ternyata Edrea udah enggak ada.”
Naya tanpa sadar sudah tidak menghiraukan lagi makanannya. Gadis itu mendengarkan dengan baik apa yang diceritakan Juna. Ia merasa tertarik. Dengan sosok Edrea yang ternyata mirip dengan adik kelasnya, suaranya yang mirip miliknya, serta cerita Juna yang sangat sayang terhadap sosok gadis tersebut.
“Aku emang terlalu mentingin diri sendiri, Nay. Padahal aku tahu Edrea kumat lagi. Dia butuh aku, tapi aku malah maksain temen-temen buat ngikutin lomba band itu. Aku enggak mikir sama sekali kalo Edrea bakal pergi untuk selamanya secepat itu.”
Naya melihat rasa sesal pada diri Juna. Cowok itu terlihat down. Cukup lama ia berpikir, lalu diraihnya tangan cowok tersebut. Digenggamnya erat, sekedar menguatkannya untuk sementara waktu.
“Lo yang sabar ya, Juna. Setiap manusia itu pasti pernah ngelakuin kesalahan dalam hidupnya. Ada baiknya jangan dijadiin penyesalan kayak gini,” katanya mencoba bijak.
“Sahabat aku, waktu itu langsung ngeluapin emosinya ke aku, Nay. Aku tahu dia ngerasa sedih banget enggak ada di samping Edrea atau ngeliat Rea untuk yang terakhir kalinya. Begitu juga aku, Nay. Kita semua enggak tau kenapa operasinya bisa gagal. Penyakit itu bener-bener ngerenggut Edrea dari kami, yang akhirnya ngehancurin persahabatan kami. Kita bertiga dulu sahabat yang paling deket, aku, dia dan Edrea. Padahal yang punya status pacarnya Rea itu aku tapi baru aku sadar, kalo ada orang yang rasa kehilangannya lebih besar dari aku.”
Zenaya tersenyum. Mengeratkan genggaman tangannya. “Mungkin dia belum bisa nerima kenyataan aja kok. Kayak kata lo, kalian dulu bertiga deket banget, tapi tiba-tiba seseorang di antara kalian harus pergi. Dia sama kayak lo kok. Cuma belum sanggup kehilangan Edrea, dan enggak biasa kalo setiap harinya enggak ada Rea di hidupnya.”
“Ya. Aku ngerasa pasti rasa cinta dia ke Edrea lebih dari aku. Dia tetanggaan sama Edrea. Sejak kecil mereka udah sama-sama, pasti sulit kalo harus pisah dengan orang yang udah selalu bersama kita sejak lama. Dan ditambah lagi, ketika saat-saat terakhir, dia enggak bisa liat Edrea atau enggak tau bagaimana kondisi Edrea saat itu. Rea pun sengaja melarang siapapun buat ngasih berita buruk ke kita yang lagi di Jakarta, supaya kita enggak kuatir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
De Tales [ Terbit Di Teorikata Pubslihing ]
RomanceMau bantu pecahkan teka-teki bareng Zenaya? 👀 Hai, teman-teman. Cerita ini dibuat untuk mengikuti event Pensi Volume 8 oleh Teorikata Pubslihing dan Lapas Penulis . Mohon komentar, vote, bantuan, serta doanya ya! Terima kasih ☺️