chapter 23

70 13 0
                                    

Happy reading!!!

*****

Satu minggu berlalu.

Hubungan Gaby dan Andra masih sama dengan terakhir kali mereka berbicara berdua di indoor sekolah. Bagi Gaby, kehidupan benar-benar berubah. Banyak teman-teman yang mulai berubah sikap kepadanya. Beberapa dari mereka ada yang menjauh, ada yang sengaja membicarakan tentangnya di grub kelas, atau ada yang melempar tatapan tak suka saat Gaby lewat di sekitarnya. Entahlah, Gaby tidak tau alasan pasti mereka melakukan itu semua.

"Lo tadi lihat ekspresi Gaby? Asli, gue pengen ketawa banget karena sekarang banyak anak kelas yang nggak suka sama dia."

"Iya, anjir, gue juga lihat tadi. Seru banget nggak sih lihat anak kelas mulai nggak suka sama dia? Gue dari dulu sebenarnya juga gedeg banget sama tuh orang. Sok banget, gilaa."

"Nah iya!! Lo inget nggak waktu kenaikan kelas duabelas dia sendiri yang ngajuin diri buat jadi ketua kelas? Kalau bukan karena dia anaknya nggak enakan juga ogah gue pilih."

"Lebih tepatnya sih bego tuh orang. Saking begonya, sampai mau dijadiin bahan gabut sama Andra, hahaha."

"Syukur deh Andra pacaran sama cewek lain. Kalau sampai jadi sama Gaby mah bisa stress dia dapet cewek sakit mental."

Tanpa dua orang itu sadari, Gaby diam-diam mendengarkan perbincangan mereka dari balik pintu kamar mandi. Sebelum mereka berdua datang, Gaby lebih dulu datang untuk buang air kecil.

ceklek.

Suara pintu di buka mengalihkan perhatian dua perempuan tadi. Sedikit terkejut saat melihat Gaby lah yang keluar dari bilik tersebut.

"Kenapa sekarang diam? Udah selesai ngomongin orang nya?"

Gaby berbicara dengan santai, namun berbeda dengan reaksi dua temannya yang mulai terlihat panik. Dasar mental tempe!!

"Enggak kok, Gab. Kita nggak lagi ngomongin siapa siapa," jawab salah satu dari mereka yang berambut panjang.

Gaby tertawa pelan. Dia berjalan mendekat ke arah wastafel, lalu menyiram tangannya dengan air keran. Merasa bahwa Gaby seolah tak peduli, membuat dua perempuan tadi berniat untuk pergi. Namun, suara Gaby membuat mereka langkah mereka berhenti.

"Gue denger semua apa yang kalian omongin di sini," Gaby berbalik menatap mereka yang belum membalikkan badan.

"Jadi, mau kalian cari alasan apapun juga gue udah terlanjur tau. Nggak ada gunanya."

Cewek dengan rambut pendek keriting, berbalik badan. Wajah yang tadinya terlihat panik, kini berubah menatap Gaby remeh.

"Bagus dong kalau lo udah denger apa yang kita omongin. Jadi, kita nggak perlu reka ulang buat nunjukin ke lo," ucapnya menantang.

Gaby diam menatap mereka yang berdiri tepat di hadapannya. Terlihat ada sorot tak suka yang bisa Gaby rasakan dari tatapannya.

"Kenapa nggak perlu? Tadi kalian ngomongin gue di belakang kan? Nah, sekarang berhubung gue udah di sini, jadi kenapa nggak lo omongin lagi? Bukankah itu lebih terlihat keren?"

Cewek rambut keriting yang merasa ditantang oleh Gaby, mengepalkan tangannya. Merasa marah karena Gaby terlihat biasa saja.

"Gue nggak peduli kalau emang lo nggak suka sama gue. Gue juga nggak peduli kalau lo mau ngajak orang-orang buat ikut benci sama gue." Gaby melangkah lebih dekat.

"Intinya, gue nggak ada urusan sama lo. Jadi stop buat ikut campur sama apa yang terjadi di hidup gue." Setelah mengatakan itu, Gaby berlalu melewati mereka. Namun ucapan dari cewek rambut panjang, membuat Gaby berhenti.

"Oh ya?? Tapi gue rasa, apa yang gue denger barusan bukan yang sebenarnya."

Gaby berbalik, "Kayaknya lo tau banget ya soal gue. Bahkan melebihi diri gue sendiri," ucapnya dengan senyum tipis.

"Gue tau lo sebenarnya sedang menolak fakta. Lo bilang lo nggak peduli, tapi nyatanya lo terus kepikiran. Memangnya, apa sih yang berhasil bikin tenang untuk cewek sakit mental kayak lo?"

Ekspresi Gaby langsung berubah. Dia menatap datar orang di depannya. Sedangkan mereka yang menyadari perubahan ekspresi wajah Gaby, tersenyum puas.

"Apa yang lo harapkan dari diri lo yang serba kurang itu, Gab? Bahkan, orang mana yang nantinya akan bertahan sama lo? Gue rasa, Caca bentar lagi juga pergi karena nggak betah sama cewek kayak lo."

Alya, cewek yang berambut pendek keriting itu, datang mendekat. Dia terus menatap Gaby dengan remeh.

"Lo itu bego, Gaby. Lo cewek paling sok yang gue temui di dunia ini. Nggak ada yang mau sama lo, Gab. Mereka yang bareng sama lo sekarang, suatu hari bakal pergi ninggalin lo."

*****

Cuaca sangat mendung sekarang. Menurut prediksi, hujan akan turun sekitar satu jam lagi. Gaby mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Melewati setiap jalan dengan pikiran yang berisi banyak hal.

Ternyata, memang benar ucapan Alya. Dia tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi. Bertingkah seolah tak peduli, padahal kenyataannya Gaby tak bisa melakukannya.

"Lo tadi lihat ekspresi Gaby? Asli, gue pengen ketawa banget karena sekarang banyak anak kelas yang nggak suka sama dia."

"Iya, anjir, gue juga lihat tadi. Seru banget nggak sih lihat anak kelas mulai nggak suka sama dia? Gue dari dulu sebenarnya juga gedeg banget sama tuh orang. Sok banget, gilaa."

Hari ini Gaby benar-benar di tampar kenyataan akan satu hal. Hari ini, Gaby disadarkan oleh fakta bahwa kini teman-temannya mulai membenci dia.

Lo inget nggak waktu kenaikan kelas duabelas dia sendiri yang ngajuin diri buat jadi ketua kelas? Kalau bukan karena dia anaknya nggak enakan juga ogah gue pilih.

Memang benar, Gaby mengakui bahwa dia adalah orang yang nggak enakan. Sikap itulah yang membuat banyak orang sering memanfaatkannya.

"Lebih tepatnya sih bego tuh orang. Saking begonya, sampai mau dijadiin bahan gabut sama Andra, hahaha."

"Syukur deh Andra pacaran sama cewek lain. Kalau sampai jadi sama Gaby mah bisa stress dia dapet cewek sakit mental."

Andra. Lagi-lagi banyak orang selalu mengaitkan dirinya dengan Andra. Entah apa yang mereka harapkan, seolah mereka sangat membenci Gaby karena bersama Andra.

Apa yang lo harapkan dari diri lo yang serba kurang itu, Gab? Bahkan, orang mana yang nantinya akan bertahan sama lo? Gue rasa, Caca bentar lagi juga pergi karena nggak betah sama cewek kayak lo.

Serba kurang?? Sakit mental?? Murahan?? Gaby benar-benar memikirkan semua kata itu. Salahkah Gaby jika dia mengatakan bahwa dia terluka? Salahkah Gaby jika dia mengatakan bahwa dia tidak terima dengan semua kata itu?? Dan, salahkah Gaby untuk membela diri dengan berkata bahwa bukan dialah yang salah?

Saking terlukanya, Gaby bahkan sempat berpikir, bahwa semua ini bukanlah salahnya. Dia pernah berpikir, kenapa tidak ada yang menyalahkan Andra saat ini?? Gaby pernah sejahat itu.

*****

Salam manis,

Ahsidelife.

Time With You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang