---
Hari itu terasa seperti keheningan yang tak kunjung berhenti. Ketika pagi berubah menjadi siang, rumah keluarga Hamka seperti kehilangan semua kegembiraannya. Biasanya, mereka akan bercanda, atau setidaknya berbicara tentang hal-hal sepele yang membuat mereka merasa dekat. Tapi kali ini, hanya ada ruang kosong yang mengisi setiap sudut ruangan.
Hera duduk di kamarnya, menatap langit yang tampak cerah di luar jendela. Ada saat-saat tertentu ketika ia merasa seperti orang asing dalam hidupnya sendiri. Setiap kali ia mencoba mendekat pada keluarganya, rasanya seperti ada tembok tebal yang menghalangi. Dan, semakin hari, tembok itu semakin sulit dihancurkan.
Tidak ada suara pintu yang terbuka, tidak ada langkah kaki yang terdengar di luar kamar. Mungkin ini saatnya, pikirnya, untuk benar-benar menjauh. Mungkin ini saatnya untuk benar-benar melupakan semuanya. Setelah semua yang terjadi, siapa lagi yang peduli?
Sementara itu, di ruang makan, suasana semakin tegang. Nindi duduk terdiam, matanya terfokus pada secangkir teh yang sudah mulai dingin. Hamka duduk di seberangnya, hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Keheningan itu seperti menekan dada mereka berdua.
“Apa yang sebenarnya kita harapkan, Hamka?” tanya Nindi tiba-tiba, suaranya lemah. “Apa yang kita harapkan dari Hera?”
Hamka menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. “Aku nggak tahu, Ma. Aku nggak tahu lagi. Dia nggak mau terbuka, nggak mau ngomong. Semua yang kita lakukan seolah sia-sia.”
“Mungkin karena kita terlalu memaksanya,” jawab Nindi, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku cuma pengin dia merasa kita peduli. Tapi dia justru merasa terjebak.”
“Dia nggak terjebak, Ma. Cuma... dia nggak tahu gimana caranya keluar dari perasaannya sendiri.”
Percakapan itu menggantung begitu saja. Tidak ada jawaban yang cukup untuk menenangkan hati mereka berdua. Nindi menunduk, seolah mencari cara untuk mengatasi perasaan gelisah yang terus menghantui. Hamka sendiri merasa semakin terpojok. Dia merasa seperti berdiri di antara dua dunia yang bertolak belakang antara peran sebagai Suami dan peran sebagai Ayah yang harus melindungi.
Di ruang tamu, Nala duduk dengan kaki disilang, matanya menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Sering kali, ia berusaha menjadi pusat perhatian, berbicara keras agar semua orang mendengarnya, atau membuat drama yang seolah-olah penting. Tapi hari itu, ia seperti kehilangan semangat untuk melakukan hal-hal itu. Sesekali, ia melirik ke pintu kamar Hera, berharap bisa melihat kakaknya keluar dan berbicara padanya. Namun, tak ada yang terjadi.
Mbak Lala masuk ke ruang tamu, membawa setumpuk pakaian yang baru kering dan baru saja disetrika. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi ada kesan bahwa ia tahu lebih banyak daripada yang terlihat.
“Anak-anak itu, ya, Mbak,” kata Nindi sambil menghela napas. “Kita coba sekuat tenaga, tapi entah kenapa semuanya justru semakin jauh.”
Mbak Lala hanya mengangguk pelan, meletakkan pakaian di sofa. “Anak-anak butuh lebih dari sekadar perhatian, Bu. Kadang mereka cuma butuh kita ada di sana, meski tanpa kata-kata.”
Nindi memejamkan mata, merasa kata-kata Mbak Lala itu menembus langsung ke dalam hatinya. Ia tahu Mbak Lala benar. Mereka terlalu sibuk memikirkan solusi, terlalu sibuk mencoba memperbaiki, sampai akhirnya mereka lupa satu hal terkadang, yang dibutuhkan anak-anak adalah waktu. Waktu untuk merasakan, waktu untuk berubah, dan waktu untuk menerima diri mereka sendiri.
“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Mbak?” tanya Nindi pelan, seperti mencari petunjuk di tengah kekosongan yang semakin meluas di rumah itu.
Mbak Lala terdiam beberapa saat, kemudian tersenyum tipis. “Kasih mereka ruang, Bu. Biarkan mereka merasa tidak ada tekanan. Terkadang, ketegangan yang kita rasakan di sini, itu yang mereka rasakan juga.”
Di kamar Hera, suasana hening. Ia duduk di atas kasur, memandang gambar-gambar di ponselnya, tapi sama sekali tidak merasa terhibur. Kadang, dia ingin berteriak, mengungkapkan segala kekesalan yang tertahan, tapi mulutnya selalu terasa terkunci. Tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang ia rasakan.
Hera menatap jam dinding yang berdetak pelan. Waktu berjalan tanpa peduli. Ia merasa lelah, tapi tidak tahu pada siapa ia bisa mengadu.
Akhirnya, ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan dan berjalan ke ruang makan. Nindi dan Hamka tengah duduk di meja, masih dengan ekspresi yang kosong. Nala sudah menghilang entah ke mana. Hera berdiri di ambang pintu, menatap mereka berdua sejenak.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” kata Hera pelan, “tapi aku butuh waktu, Ma. Aku butuh waktu buat mikirin semuanya.”
Nindi hanya mengangguk, matanya sudah mulai berlinang. “Gak masalah, Nak. Kita semua cuma pengin kamu tahu kalau kita ada di sini. Kapanpun kamu siap, kami selalu ada.”
"Maafin mamah sama papa yang selama ini abai sama kamu dan abangmu ya nak."
Hera menatap ibunya untuk beberapa detik, lalu perlahan duduk di kursi. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih tenang. Mungkin mereka tidak bisa memperbaiki semuanya sekarang, tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, ia merasa ada ruang untuk berbicara.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
In Omnia Paratus [End]
Novela JuvenilHera merasa seperti hantu di rumahnya sendiri. Ia tak pernah benar-benar dimarahi, tapi juga tak pernah dicari. Ia tumbuh dengan keheningan setiap harinya. Di balik sikap cuek dan tatapan kosongnya, Hera cuma anak yang diam-diam berharap: "Tolong, l...