Dua puluh dua tahun hidup di bumi sebagai manusia, bisa dihitung berapa kali Mara pernah suka atau jatuh cinta pada lawan jenis.
Saat SMP dulu, Mara pernah suka dengan kakak kelasnya. Alasannya simpel, karena si kakak kelas adalah salah seorang anggota OSIS. Dimana menurut Mara dulu, orang yang masuk OSIS adalah orang-orang yang keren. Apalagi, si kakak kelas juga merupakan salah satu siswa yang berprestasi, membuat Mara makin mengaguminya.
Namun seiring berjalannya waktu, rasa suka itu seolah cuma mampir sebentar pada diri Mara sebab ketika si kakak kelas lulus, rasa suka Mara perlahan mulai hilang dan tak meninggalkan bekas apapun. Bahkan Mara tidak merasakan sedikit pun rasa sedih ketika melihat si kakak kelas pada upacara kelulusan.
Beralih ke masa SMA, Mara merasakan hal baru—pacaran. Saat itu, Mara merasakan hal yang berbeda dengan apa yang dia rasakan sebelumnya di masa SMP. Lebih dari sekadar rasa suka, kali ini Mara mempunyai rasa ingin memiliki.
Saat itu, salah seorang teman seangkatannya, bilang bahwa dia ingin mengenal Mara lebih dekat. Karena Mara enggan menolak, jadi dia mengiyakan permintaan itu. Tak disangka, Mara merasa nyaman selama berinteraksi dengan cowok tersebut yang menimbulkan rasa ingin memiliki. Akhirnya si cowok menyatakan cinta pada Mara dan tentu saja, Mara menerima pernyataan cinta itu.
Tapi hubungan Mara tidak berjalan begitu lama—cuma bertahan sampai enam bulan. Saat itu keduanya sama-sama sibuk menyiapkan diri untuk ujian kelulusan dan ujian masuk universitas. Karena komunikasi yang semakin hari kian memburuk, akhirnya Mara memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut.
Setelah putus dari hubungannya yang terakhir, Mara tidak pernah lagi merasakan suka atau jatuh cinta pada seseorang. Masa kuliahnya yang sudah berjalan selama empat setengah tahun, dihabiskan dengan kesibukannya berkuliah. Dia tidak sempat memikirkan masalah lawan jenis sebab memang merasa tidak tertarik. Tidak terhitung berapa kali Yoana menyuruh Mara untuk mencari pacar atau sekadar gebetan, dan Mara selalu menolak usulan itu.
Tapi hari ini, Mara seperti merasakan hal-hal beberapa tahun lalu yang sudah lama tidak dia rasakan. Malah menurutnya, rasa ini jauh lebih kompleks dan mendebarkan.
Sudah dua jam Mara mencoba memejamkan matanya, tapi adegan di dalam mobil bersama Atta masih terus berputar di kepalanya, membuat dia tidak bisa tidur. Mara menutup wajahnya dengan bantal dan berteriak, terus membayangkan potongan demi potongan adegan itu.
"Ini beneran gak papa lo nganter gue?" Tanya Mara sambil memakai seat belt.
"Gak papa, sekalian." Jawab Atta.
"Ok."
Setelahnya tidak ada lagi percakapan di dalam mobil itu. Atta fokus mengemudi, sementara Mara cuma duduk diam memandangi jalanan yang macet. Ada beberapa titik banjir yang membuat perjalanan semakin lama karena ada peralihan arus kendaraan.
Mara menahan diri untuk tidak memejamkan matanya. Udara yang dingin dan suasana yang hening membuat Mara mengantuk—walau notabene Mara sudah tidur seharian. Mara menegakkan punggungnya, mencoba mengusir rasa kantuknya sebab perjalanan ke kosnya masih lumayan jauh karena mereka harus mengambil jalan berputar.
"Boleh nyalain musik?" Celetuk Mara memecah keheningan. Mara tidak tahan untuk terus-terusan berada di keheningan, makanya dia sering mendengarkan musik saat melakukan apapun. Tadi Mara mencoba menyetel musik dari ponselnya, tapi sialnya ponsel dan airpods-nya kekurangan daya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indestructible
Любовные романы# a snowsun fan fiction Asmara Isha; mahasiswa Psikologi semester sembilan yang sedang sibuk menyusun skripsi. Di saat banyak teman seangkatannya yang sudah lulus terlebih dahulu, Mara masih sibuk berkutat dengan skripsi yang tak kunjung usai. Sedan...