12; acc!

123 32 13
                                    

Mara menghela napas lega saat dia berhasil duduk di sofa tempat dia biasa melakukan bimbingan dengan Bu Rahayu. Tadi pagi, Bu Rahayu mengabari Mara bahwa Mara bisa mengambil berkas skripsi yang sudah dikoreksi oleh beliau.

Mara senang mendengar kabar itu. Namun yang membuat dia tidak senang adalah fakta bahwa kakinya masih belum benar-benar sembuh, yang membuatnya kesulitan untuk berjalan—walaupun sudah dibantu oleh kruk. Tidak terhitung sudah berapa kali Mara mengumpat sebab berkali-kali dia harus kesulitan melangkah.

Mencoba melupakan kejengkelannya perihal kakinya, Mara menarik dan menghembuskan napasnya berkali-kali. Mara berharap berkas skripsi yang dia serahkan minggu lalu bisa langsung disetujui oleh Bu Rahayu untuk kemudian diujikan pada sidang skripsi. Mara sudah terlampau lelah berkutat dengan skripsi yang tak kunjung selesai.

Mendengar bunyi pintu dibuka, Mara sontak menoleh dan mendapati sosok Bu Rahayu dengan raut wajah cukup keruh, yang berhasil membuat Mara was-was sebab jarang sekali Mara melihat beliau begitu kesal.

"Maaf, ya, Mara. Kamu harus nunggu lama. Saya harus ngurusin dua mahasiswa ketemu sama Pak Bambang." Ujar Bu Rahayu menyebutkan nama kepala jurusannya.

"Iya, Ibu, gak papa."

"Sebentar, saya cari dulu berkas skripsimu." Tangan Bu Rahayu sibuk memeriksa tumpukan berkas di mejanya. Setelah berhasil menemukan berkas skripsi Mara, Bu Rahayu berjalan ke arah sofa yang Mara duduki.

"Loh, itu kruk? Kakimu kenapa?" Tanya Bu Rahayu saat matanya menangkap sebuah tongkat tersender di dinding disertai dengan nada terkejut yang terkesan khawatir.

Memang saat tiba di ruangan Bu Rahayu tadi, Bu Rahayu sedang tidak ada. Dalam pesannya, beliau cuma menyuruh Mara masuk untuk menunggu di ruangannya. Jadi wajar saja jika Bu Rahayu cukup terkejut melihat ada kruk.

"Keseleo, Bu."

"Kenapa bisa keseleo?"

"Saya gak liat ada lubang cukup lebar, terus akhirnya saya jatuh."

"Naik motor?"

"Enggak, saya jalan kaki, Bu."

Terdengar helaan napas keluar dari mulut Bu Rahayu, "hati-hati dong, Mara. Itu udah dibawa ke dokter, kan?"

"Udah, Bu. Udah aman."

"Syukurlah. Lain kali hati-hati kalau jalan, ya, Asmara."

"Hehe, siap, Bu."

"Oh ya, ini skripsimu," Bu Rahayu meletakkan berkas itu di meja, "sudah saya koreksi, dan menurut saya sudah bagus."

"Acc, Bu?" Tanya Mara antusias.

"Kamu udah siap sidang?"

"Siap gak siap harus siap, Bu. Saya mau cepet lulus."

"Hm, kalo kamu mau cepet lulus, oke deh acc."

Mara senyum lebar, "bener, Bu? Yakin, nih?"

"Kok malah kamu yang nanya saya? Saya mah yakin-yakin aja nge-acc skripsimu. Yang ditanya begitu harusnya kamu, kamu yakin mau maju sidang?"

"Saya udah yakin banget, Bu. Saya cuma pengen cepet lulus."

Mengangguk, Bu Rahayu mengambil pulpen dan memberi tanda tangan pada sampul skripsi Mara yang sontak membuat senyum Mara melebar.

"Habis ini, kamu menghadap Bu Eka juga untuk minta tanda tangan acc. Saya sudah diskusi dengan beliau untuk masalah skripsimu yang sudah layak lanjut sidang."

"Baik, Bu."

"Jangan lupa, baca skripsimu lagi dari awal dan dipelajari dengan matang. Semoga nanti sidangmu lancar, ya." Nasihat Bu Rahayu.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang