19; close

76 28 7
                                    

Setelah mengambil celana training yang diberikan Atta, Mara bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Berkali-kali Mara harus berpegangan pada dinding hanya agar tidak terjatuh sebab kepalanya terasa pusing. Sindrom menstruasi yang Mara rasakan tiap bulan memang selalu berhasil membuat Mara menderita.

Begitu selesai dengan urusannya di kamar mandi, Mara dengan perlahan berjalan ke arah sofa. Rasanya dia ingin segera berbaring dan tidur melingkar seperti bayi, sebab rasa kram di perutnya sangat tidak tertahankan.

"Minum obatnya dulu, ya? Abis itu olesin badan lo pakek minyak kayu putih, biar enakan." Atta memberikan sebutir obat dan segelas air pada Mara.

Mara menerimanya dan segera meminum obat itu. Setelah selesai, Atta memberikan sebotol minyak kayu putih. Sementara Mara mengolesi tubuhnya dengan minyak, Atta mengambil posisi membelakangi Mara.

"Atta, udah," ujar Mara setelah mengolesi beberapa bagian tubuhnya dengan minyak.

Atta berbalik menghadap Mara, "sekarang mending lo tidur."

Merasa sudah tidak tahan lagi, Mara menerima saran Atta dan segera memposisikan dirinya untuk tidur. Tubuhnya benar-benar terasa remuk, belum lagi sakit kepalanya terasa makin menyebalkan.

Tidak butuh waktu lama, kesadaran Mara perlahan menghilang. Namun sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, Mara merasakan sebuah selimut menutupi tubuhnya.

𓇼 ⋆。˚ 𓆝⋆。˚ 𓇼

Melihat Mara mulai memejamkan matanya, Atta mengambil selimut dari kamarnya dan meletakkannya di atas tubuh Mara. Wajah kesakitan Mara perlahan menghilang, digantikan dengan wajah tenangnya saat tertidur.

Memastikan Mara sudah terlelap, Atta berjalan meninggalkan Mara menuju studionya. Berhasil merebahkan tubuhnya di sofa, Atta membuka ponselnya dan mendapati beberapa pesan dan panggilan tak terjawab yang kebanyakan berasal dari Galuh dan Janesh.

Atta mengetuk nama Janesh, lalu tak butuh waktu lama, suara Janesh terdengar memenuhi telinganya.

"Woy! Lo di mana? Dicariin dari tadi gak ada?!"

"Sorry, Bang. Tadi Mara sakit perut, jadi kita balik duluan. Mau ngabarin lo sama Kak Galuh gak sempet, keburu ribet soalnya." Atta menjelaskan.

"Eh? Mara sakit perut kenapa? Udah dibawa ke dokter?" Tiba-tiba muncul suara lain—suara Galuh.

"Biasa Kak, red day. Ini dia masih tidur di apart gue, soalnya tadi mau langsung drop ke kosnya kejauhan, keburu dia gak nyaman karena udah bocor."

Atta dapat mendengar suara cekikikan di ujung panggilan, membuat Atta mengernyitkan alisnya.

"Kalian kenapa ketawa?" Atta bertanya bingung.

"Kagak." Suara Janesh kembali terdengar, "kalo gitu kita makan barengnya lain kali aja, biar Mara bisa istirahat. Salamin buat Mara ya, Ri."

"Iya, Bang."

Setelah panggilan itu berakhir, Atta beranjak dari posisinya. Dia berjalan menuju meja kerjanya dan menyalakan komputer. Atta ingat dia masih harus mengedit beberapa foto untuk kemudian diserahkannya kepada klien.

Sedikit melongok ke luar—ke arah di mana Mara berada, Atta mendapati Mara nampak tenang dalam tidurnya. Atta menghela napas lega sebab sejak pertama kali melihat Mara merasa kesakitan, Atta benar-benar tidak tega. Mungkin Mara mencoba bersikap biasa saja di depan Atta, tapi Atta dapat merasakan jika Mara menahan diri untuk tidak terlalu menunjukkan rasa sakitnya.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang