17; the day

66 28 15
                                    

Salah satu hal yang Mara benci tentang dirinya adalah kebiasaan demam panggung yang dimilikinya.

Sejak Mara duduk di ruang tunggu satu jam yang lalu, dia tidak bisa berhenti meremas tangannya yang terus berkeringat. Berkali-kali Mara juga harus menghapus peluh yang menetes di dahinya. Padahal Mara sedang duduk di ruangan ber-AC.

Mara kembali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, dia masih punya waktu sekitar 30 menit untuk menenangkan diri sebelum tiba gilirannya untuk maju dalam sidang akhir.

Mara sedikit tersentak saat merasakan getaran di saku celananya. Mengeceknya, Mara menemukan nama Jemian di layar ponselnya.

"Kenapa?" Mara mengangkat panggilan itu sedikit ketus, merasa terlalu cemas.

"Lantai dua, belok kanan, ruangan paling ujung." Lanjut Mara menjelaskan.

"Iya, buruan." Setelahnya, Mara mematikan panggilan itu.

Tak lama setelah itu, telinga Mara menangkap langkah kaki yang mendekat. Menolehkan pandangan ke sumber suara, Mara mendapati sosok Jemian dengan tangan membawa sebuah kresek berlogo Indomaret.

"Nih, buat lo." Jemian menyerahkan kresek itu ketika tiba di hadapan Mara.

Mara mengernyitkan dahinya, tapi tetap menerima kresek itu. "Gue mau sidang! Bukan mau piknik." Ujar Mara saat membuka kreseknya.

"Makan dulu biar santai, gue tau lo pasti panik, kan?" Kata Jemian, mendudukkan dirinya di samping Mara.

"Gak sanggup nelen, yang ada gue muntahin lagi." Mara menjawab malas, kembali menyerahkan kresek itu ke Jemian.

"Untung mama lo gak ada, kalo ada udah diomelin mulu lo." Jemian mencibir.

Mara mengabaikan perkataan Jemian, lebih memilih menyimpan energinya untuk digunakannya dalam sidang nanti.

"Lo semalem gak tidur?" Tanya Jemian begitu melihat lingkaran hitam di mata Mara yang tersamarkan oleh make up yang dikenakannya.

"Cuma bisa tidur sejam," jawab Mara ogah-ogahan.

Jemian menghela napasnya, mengambil sebotol minuman isotonik di dalam kresek yang tadi dibawanya dan menyerahkannya kepada Mara.

"Minum dulu, biar rileks."

Mara memilih menerima minuman itu sebab malas berdebat dengan Jemian, dia membuka tutupnya dan segera meneguknya. Momen ketika air mengalir di tenggorokannya, Mara merasakan dirinya lebih rileks. Setelah cukup meminumnya, Mara kembali menyerahkan minuman itu ke Jemian.

"Gue mau dengerin musik, kalau nanti udah deket waktunya, kasih tau gue." Kata Mara sambil tangannya menyumpal earphone ke telinganya.

Jemian cuma bisa mengangguk menanggapi, sudah paham dengan cara Mara mencoba menenangkan diri.

𓇼 ⋆。˚ 𓆝⋆。˚ 𓇼

Menunggu lampu merah berganti hijau, Atta kembali mengecek ponselnya, barangkali pesannya sudah dibalas. Namun nihil, pesan yang sejak tadi dikirimnya belum juga mendapat balasan.

"Apa gue telpon aja?" Gumam Atta tak yakin, "eh tapi nanti masih di ruangan?"

Atta mengacak rambutnya frustasi. Harusnya Atta bisa bertanya sejak semalam, tapi dengan bodohnya dia lupa menanyakannya sebab terlalu sibuk mengedit foto-foto yang harus dikirimkannya pagi ini.

"Apa tanya bude aja, ya? Dia pasti tau di mana ruangannya."

Tanpa pikir panjang, Atta segera melakukan panggilan. Tapi harapannya harus pupus saat dia mendapati panggilan itu tidak juga diangkat. Dengan kesal, Atta kembali meletakkan ponselnya di kursi sampingnya dan menginjak gas saat matanya menangkap lampu merah sudah berganti menjadi hijau.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang