Beberapa menit berlalu cukup lama, Atta tidak kunjung keluar dari ruangan yang tadi dimasukinya. Hal itu membuat Mara bertanya-tanya, apakah mencari roll film membutuhkan waktu begitu lama?
Bosan, Mara beranjak dari duduknya. Dia berjalan menuju kaca jendela besar yang ada di apartemen Atta. Begitu sampai, mata Mara disuguhi pemandangan Kota Jakarta yang tengah diguyur hujan.
"Kenapa semua momen gue sama Atta kebanyakan ada pas hujan?" Monolog Mara lirih.
"Ya karena ini lagi musim hujan?" Lanjut Mara terkekeh di akhir kalimatnya, merasa lucu sebab sempat-sempatnya dia berpikir begitu.
"Kebanyakan baca fiksi bikin otak gue jadi aneh."
Asyik memandangi hujan dan bermonolog, Mara tidak sadar jika Atta sudah berdiri di sampingnya. Sampai akhirnya Mara mencoba kembali berpijak pada dunianya lagi dan sedikit terperanjat saat mendapati Atta berdiri di sampingnya.
"Lo ngagetin!" Mara refleks memukul bahu Atta.
Atta yang dipukul oleh Mara cuma bisa tertawa terbahak-bahak, merasa lucu dengan ekspresi wajah yang Mara tampilkan.
"Maaf, maaf, lo kayak lagi serius banget tadi. Gue takut ganggu makanya gue milih gabung aja." Ujar Atta masih dengan sisa tawanya.
Mara memutar bola matanya malas, "udah ketemu roll filmnya?"
"Udah," Atta mengangkat sebuah roll film yang ada di genggamannya.
"Lama banget nyari roll film doang?"
"Gue lupa roll filmnya ada di kamera yang mana, makanya tadi harus bukain satu-satu."
"Sebanyak itukah kamera lo?"
"Cukup banyak," Atta menjawab dengan cengiran.
"Understable, soalnya lo fotografer." Ujar Mara, "sekarang, udah bisa mulai cuci filmnya?"
Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan kepala oleh Atta. Setelahnya Atta meminta Mara untuk mengikutinya masuk ke salah satu ruangan. Begitu masuk ke ruangan itu, Mara berasumsi bahwa itu adalah ruang kerja Atta.
"Cuci filmnya di sini?" Tanya Mara sambil matanya memandangi isi seluruh ruangan.
"Di dalem sana, di kamar gelap." Tunjuk Atta pada sebuah pintu geser yang terletak di pojok ruangan.
"Kamar gelap?" Muncul kernyitan di dahi Mara.
"Semacam ruangan yang gak ada lampunya." Atta menjelaskan singkat.
"Emang kalau cuci film gak boleh ada lampunya?"
"Lebih tepatnya gak boleh kena cahaya, baik cahaya matahari atau pun cahaya lampu. Boleh sih kena cahaya, tapi cuma cahaya warna merah aja, karena cahaya merah enggak ngerusak proses pengembangan film. Makanya di ruangan gelap nanti, kita cuma pakek lampu warna merah untuk penerangan."
"Ah, gitu." Mara mengangguk sedikit paham.
"Jadi, kita mulai cuci sekarang?" Tanya Atta memandang Mara.
"Ayo!" Mara dengan antusias mengikuti langkah Atta yang berjalan menuju kamar gelap.
Memasuki kamar gelap, Mara melihat beberapa klise dan potret yang dijepit dan digantung pada sebuah tali. Ada juga beberapa potret yang tertempel di dinding yang disusun secara acak namun tetap terlihat indah.
"Ini semua hasil foto lo?" Tanya Mara merujuk pada semua potret yang ada di ruangan.
Atta mengiyakan pertanyaan Mara dengan anggukan singkatnya, "tapi ada beberapa yang hasil foto temen gue, sih. Dia numpang nyuci di sini."
![](https://img.wattpad.com/cover/362451556-288-k394520.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Indestructible
Romantizm# a snowsun fan fiction Asmara Isha; mahasiswa Psikologi semester sembilan yang sedang sibuk menyusun skripsi. Di saat banyak teman seangkatannya yang sudah lulus terlebih dahulu, Mara masih sibuk berkutat dengan skripsi yang tak kunjung usai. Sedan...