2O; unexpected

60 25 7
                                    

Dengan langkah ragu, Mara berjalan menuju sebuah rumah bercat putih bersih dengan pagar besi yang menjulang tinggi. Membuka ponselnya, Mara kembali memastikan bahwa rumah di hadapannya sekarang adalah benar rumah dosen pembimbingnya—Bu Rahayu.

Setelah memastikan bahwa ini adalah rumah Bu Rahayu, Mara merasakan kebingungan melandanya. Mara tidak tahu, dia harus memberitahu Bu Rahayu terlebih dahulu bahwa dia sudah sampai, atau langsung menekan bel yang ada.

Cukup lama Mara berpikir, sampai akhirnya pilihan Mara jatuh pada opsi menekan bel. Dan tidak butuh waktu lama, Mara dapat mendengar suara besi saling bergesekan, tanda gerbang sedang dibuka.

Begitu gerbang terbuka, muncul seorang wanita paruh baya yang sebagian rambutnya tampak sudah memutih. Dengan sopan Mara menanyakan apakah benar ini adalah rumah dari Bu Rahayu, dan Mara bernapas lega saat si wanita membenarkan pertanyaan Mara.

Mara berjalan mengikuti langkah wanita itu, yang kemudian Mara tahu bernama Mbok Sumi—asisten rumah tangga di kediaman Bu Rahayu. Mara memperhatikan sekelilingnya, tampak beberapa kendaraan bermotor yang terparkir di halaman rumah yang luas.

"Lagi ada acara ya, di rumah Bu Rahayu?" Batin Mara dalam hati.

Melanjutkan monolognya, Mara berpikir mungkin memang benar sedang ada acara yang berlangsung di rumah dosen pembimbingnya itu. Sebab sekarang adalah hari Minggu, hari libur dimana orang-orang biasa berkumpul dengan sanak famili, teman, atau kerabat lainnya.

Mara mendengus pelan, bisa-bisanya hari Minggu seperti ini dia masih harus menemui dosennya untuk meminta tanda tangan. Jika saja semingguan ini Bu Rahayu bisa ditemui, mungkin Mara tidak perlu repot-repot pergi ke rumah Bu Rahayu hanya untuk sekadar meminta tanda tangan. Hal lain yang membuat Mara mau tak mau pergi adalah fakta bahwa pada hari Senin nanti, berkas skripsinya harus sudah disetorkan ke perpustakaan guna kepentingan pengarsipan.

"Tunggu di sini dulu ya, Neng. Saya panggilkan Ibu dulu." Suara Mbok Sumi memaksa Mara mengakhiri monolog di kepalanya.

Mara mengangguk pelan, meletakkan map yang sejak tadi dia genggam ke meja di hadapannya.

"Di rumah lagi ada acara ya, Mbok? Tadi saya liat banyak mobil sama motor." Mara ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Iya, Neng. Ada arisan keluarga." Jelas Mbok Sumi.

Mara mengangguk mengerti mendengarnya, lalu setelahnya Mbok Sumi pamit pergi ke dalam untuk memanggil Bu Rahayu.

Sembari menunggu kedatangan Bu Rahayu, Mara meraih ponsel yang sejak tadi dia simpan di saku celananya. Dengan gerakan lincah, jari Mara menelusuri laman media sosialnya. Gerakan jari Mara tiba-tiba terhenti saat matanya menangkap sebuah unggahan dari akun @auri.films.

Jarinya dengan tenang menggeser satu per satu foto yang diunggah, sampai akhirnya Mara sampai pada foto terakhir yang menampilkan Atta sedang tersenyum lebar dengan wajah yang sedikit tertutup oleh bucket hat yang dipakainya.

"Dia tuh emang cakep banget, ya?" Batin Mara menggema.

Dengan kesadaran penuh, Mara menekan tombol hati pada layar ponselnya. Sempat terbesit dalam pikirannya untuk meninggalkan komentar pada unggahan itu, namun urung sebab Mara terlalu malu melakukannya.

"Asmara?" Mara menoleh begitu mendengar seseorang menyebut namanya, apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.

"Atta?!" Pekik Mara begitu foto yang tadi dia pandangi di layar ponselnya bermanifestasi menjadi sosok Atta yang utuh dan sedang berdiri di hadapannya. "Ngapain di sini?" Sambung Mara dengan nada bingungnya.

Dalam kepalanya, Mara menghitung bahwa ini adalah keempat kalinya dia tidak sengaja bertemu dengan Atta. Seolah, sejak Mara mengenal Atta akhir-akhir ini, semesta seperti dengan sengaja menempatkan Mara dan Atta dalam ruang tempat dan ruang waktu yang sama. Yang pada akhirnya membuat keduanya lebih sering bertemu satu sama lain.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang