11; gloomy

105 30 7
                                    

Tiga hari berlalu dan sekarang Mara bersama Yoana sedang duduk di ruang tunggu, sedang antre untuk bisa masuk ke ruangan dokter guna memeriksa perkembangan kaki Mara. Butuh waktu yang cukup lama sampai nomor antreannya dipanggil, Mara sampai ketiduran. Kepalanya menyender di bahu Yoana sementara Yoana asik memandangi ponselnya. Entah melakukan apa.

Suasana cukup hening dan tenang, sampai tiba-tiba Mara terlonjak dalam tidurnya yang membuat Yoana terkejut dan hampir melemparkan ponsel di tangannya.

"Lo ngapain, anjir?!" Kata Yoana dengan suara tertahan.

"Yon, kampret banget. Gue mimpi kepeleset, sampek kaget." Mara mengusap wajahnya.

"Bocah gak jelas." Yoana melengos pelan.

"Emang lo gak pernah mimpi kepeleset? Atau jatoh gitu?"

"Ya pernah. Cuma bedanya, gue kagetnya ya kaget sendiri, gak ngajak-ngajak orang lain."

"Yaelah, gitu amat sama anak sendiri."

"Lo gak di dunia nyata, gak di mimpi, kenapa sering banget jatoh? Gak capek apa?"

"Udah takdir, Yon. Mana bisa nolak gue."

"Mana ada takdir begitu," Yoana menoyor kepala Mara pelan.

"Gak usah noyor-noyor! Nanti gue makin goblok, skripsi gue bisa-bisa gak beres."

Belum sempat Yoana menjawab perkataan konyol yang Mara lontarkan, terdengar suara perawat menyebut nomor antrean yang Mara pegang. Yoana langsung berdiri dan dengan sigap membantu Mara untuk berdiri dan menggunakan kruk. Setelahnya, keduanya berjalan memasuki ruangan periksa.

𓇼 ⋆。˚ 𓆝⋆。˚ 𓇼

"Lo gak bisa langsung balik aja? Ini udah jam empat, bentar lagi juga balik kan lo." Tanya Mara pada Yoana yang lagi-lagi masih fokus ke ponselnya.

"Mana bisa, kerjaan gue masih ada yang belum beres."

Mara cemberut, "kan, mending gue sendiri aja kalo gitu. Lo jadi harus lembur cuma gara-gara nganterin gue kontrol."

"Yaelah, kek sama siapa aja lo."

"Mau mampir bentar ke tempat makan biasa? Biar bisa lo bawa ke kantor, atau mau jajan sekalian? Gue bayarin deh."

"Buset, kenapa lo? Kesambet?" Yoana beralih memandang Mara heran.

"Ah, emang gak bisa bener lo dibaikin."

"Ya lo aneh! Tumben amat."

"Gue emang biasanya baik, lo aja yang gak sadar." Mara melengos.

"Halah! Kenapa, deh?"

Mara menghela napasnya pelan, "gue cuma ngerasa seneng dan bersyukur aja lo nyempetin nganterin gue kontrol, padahal kerjaan lo juga belum beres. Lo bikin gue ngerasa kalo gue gak sendiri."

Yoana terenyuh mendengar pernyataan Mara, lalu dengan pelan Yoana mendekat ke arah Mara. Lengan kirinya bergerak melingkari pundak Mara dan dengan perlahan menarik Mara mendekat agar Yoana bisa memeluknya dari samping.

"Lo gak akan pernah sendiri, Ra. Gue bakal selalu ada."

"Iya, tau, kok."

"Lo kalo ngerasa sepi sendirian di kos, bilang aja ke gue. Gue bisa nginep di tempat lo, atau lo bisa juga nginep di tempat gue. Gue tau lo selalu sungkan nunjukin rasa sedih lo di depan orang lain, even ke gue yang notabene sahabat lo sendiri. Cuma, Ra, kebanyakan mendem rasa sedih sendirian juga gak bagus."

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang