1O; visit

111 28 15
                                    

Dengan perlahan, Mara berjalan menuju kamar kosnya dengan bantuan kruk. Di belakang, mata Atta terus mengawasi pergerakan Mara. Tadi ketika keduanya sampai di Jakarta, Atta memutuskan untuk membawa Mara ke rumah sakit guna memeriksa keadaan kakinya. Setelah diperiksa, ternyata Mara mengalami perobekan ligamen pada pergelangan kakinya.

Untuk memudahkan mobilitas Mara, Atta menyarankan Mara untuk menggunakan kruk. Awalnya Mara menolak sebab menurutnya itu berlebihan, tapi Atta menjelaskan kalau tidak pakai alat bantu jalan, itu akan mempersulit pergerakan Mara. Pada akhirnya Mara mengiyakan saran Atta, dan sekarang Mara sedang berlatih menggunakan kruk sementara Atta mengawasi, takut jika Mara tiba-tiba oleng.

Mencapai pintu, Mara menempelkan jarinya pada alat sensor. Saat terdengar bunyi klik, Mara segera mempersilahkan Atta masuk.

"Maaf banget, kos gue emang sempit. Tapi lo bisa duduk di kursi, kok." Mara menunjuk dua kursi yang ada di kamarnya. "Gue mau ke kamar mandi dulu."

Melihat Mara menutup pintu kamar mandi, Atta berjalan masuk ke kamar kos Mara. Atta kemudian meletakkan obat Mara di atas meja, dan memilih untuk duduk di kursi yang ada di dekatnya. Matanya memindai isi kamar kos Mara yang terlihat rapi dan bersih. Di atas kulkas, terdapat sekumpulan bunga tulip warna-warni yang diletakkan di sebuah wadah kaca dengan air di dalamnya, membuat kamar Mara dipenuhi aroma bunga itu. Lalu Atta juga melihat sebuah bunga anggrek putih di atas side table.

"Kayaknya dia suka bunga? Kemarin di kamarnya juga ada bunga, walau udah kering dan rontok." Atta bergumam.

Tak lama, terdengar bunyi pintu terbuka menampilkan sosok Mara yang berusaha berjalan dengan hati-hati. Atta yang melihatnya berniat untuk membantu, tapi keburu dicegah oleh Mara.

"Jangan dibantu!" Ucap Mara menatap Atta, "gue tau lo mau bantu, tapi gue pengen terbiasa jalan sama ini tongkat." Lanjut Mara menjelaskan.

"Oke," Atta kembali duduk di kursinya.

"Mau minum sesuatu?" Tanya Mara.

"Nggak perlu, gue udah mau pulang."

Mara mengangguk, "makasih ya, lo banyak bantu gue dari kemarin. Gue gak tau lagi kalau misalnya gak ada lo, kayaknya gue masih jadi gembel di depan toko itu." Mara mendudukkan dirinya di ranjangnya.

"Makasih yang kedelapan puluh enam."

"Iya-iya! Abisnya gimana, saking bersyukurnya gue, gue gak bisa berhenti bilang makasih."

"Ya udah, gue mau pulang. Obat lo di sini, jangan lupa diminum, terus tiga hari lagi lo perlu kontrol ke dokter buat cek perkembangan kaki lo."

"Iya, siap." Kata Mara dengan pose ala-ala hormat, "tapi sebelum itu, makasih lagi, ya! Dan please, jangan ngitung lagi. Tolong bales sama-sama aja."

Atta terkekeh mendengarnya, tapi pada akhirnya mengiyakan permintaan Mara, "sama-sama." Katanya sambil tersenyum.

"Maaf gak bisa nganter sampek depan, kaki gue gak mendukung." Ujar Mara saat melihat Atta sudah berdiri dan bersiap untuk pergi.

"Gak papa. Gue pamit, cepet sembuh." Balas Atta kemudian melenggang keluar meninggalkan kamar kos Mara.

Begitu Atta pergi, Mara segera merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Dia memejamkan matanya, sambil mencoba menghirup udara dalam-dalam. Rasanya lebih menyenangkan berada di kamar kosnya yang kecil daripada berada di kamar rumahnya.

Pikiran Mara sudah melayang, sudah siap untuk terlelap namun gagal sebab dia mendengar bunyi pintu kosnya terbuka, menampilkan sosok Yoana dan Jemian.

"Sumpah ya, Asmara, elo gue tinggal sendirian langsung aja kaki lo patah!" Semprot Yoana berjalan menuju Mara.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang