O8; back to home

116 29 11
                                    

Di tengah ramainya suasana di dalam kereta siang ini, Mara menatap kosong pemandangan di luar jendela. Walau sebenarnya, pikiran Mara sudah melanglang buana memikirkan apa yang harus dia lakukan ketika nanti sampai di rumahnya.

Tadi pagi saat bangun tidur, Mara tiba-tiba terpikirkan untuk pulang ke rumah. Entah sebenarnya untuk tujuan apa, dia hanya ingin pulang. Walau dari dalam lubuk hatinya dia tahu, pulang ke rumah hanya akan menyakitinya.

"Tau gini, gue iyain aja waktu Yoana mau ikut." Mara menghela napas berat, "kalau sendiri, gue takut makin gila."

Mara memeluk erat ransel di pangkuannya, merasakan hawa dingin air conditioner. Dalam hati Mara terus berkata, dia pulang ke rumah sebab dia rindu rumahnya. Walau nanti dia mendapati rumahnya kosong, dia tidak akan menangis dan tidak akan sedih. Mara terus merapal kata-kata itu.

𓇼 ⋆。˚ 𓆝⋆。˚ 𓇼

Mara mengucapakan terima kasih kepada driver yang mengantarnya saat mereka berhasil tiba di depan rumahnya. Begitu si driver pergi, Mara bergegas membuka gerbang hitam setinggi dua meter di hadapannya. Perasaannya berubah menjadi asing begitu berhasil membuka gerbang dan mendapati halaman rumahnya terasa sepi dan kosong. Padahal biasanya, saat pulang ke rumah, Mara pasti selalu disambut hangat oleh ibunya. Ayah juga akan memeluknya begitu erat dan mengomeli Mara sebab Mara terlalu lama tidak pulang.

Mara mencubit lengannya pelan untuk menyadarkan dirinya sendiri. "Baru sampek halaman, Ra, belum masuk rumah."

Tidak mau berlama-lama, Mara bergegas menuju pintu dan segera membukanya. Momen ketika pintu terbuka, Mara tak sanggup lagi menahan diri; tangisnya pecah, suaranya menggema memenuhi ruangan. Mara duduk bersimpuh di lantai saat kakinya tak lagi mampu menahan beban tubuhnya. Dia terus terisak-isak, mengeluarkan seluruh sesak yang memenuhi dadanya sejak dia memutuskan untuk pulang ke Bandung.

Ternyata, Mara tidak sekuat itu. Mara hanya kuat di pikirannya sendiri. Di hadapan dunia, Mara terlihat rapuh bak ranting kayu kering yang siap patah kapanpun.

"Ibu..." Mara memukuli dadanya sesak, "ayah..." Tangis Mara terdengar memilukan.

Mara terus menangis memanggil ayah ibunya, tangannya berkali-kali harus memukul dadanya sendiri sebab terasa begitu sesak. Tangis Mara sedikit mereda saat mendapati sebuah sapu tangan jatuh dari kantong jaketnya—sapu tangan milik Atta.

Mara mengambilnya, menggenggamnya erat sampai akhirnya dia gunakan sapu tangan itu untuk mengelap air mata yang memenuhi wajahnya.

"Asmara, gak papa," ucapnya mencoba menguatkan diri sendiri, menepuk-nepuk pundaknya pelan.

Setelah dirasa cukup tenang, Mara berdiri. Kakinya membawanya menyusuri sudut-sudut rumahnya; ruang keluarga terlihat lengang, dapur terasa sepi sebab tidak ada lagi ibu yang memasak di sana, kamar orang tuanya nampak dingin, halaman belakang rumah menjadi tidak begitu menyenangkan sebab tidak ada lagi ayah yang biasa merawat tanaman hiasnya.

Mara menghela napas beratnya, masih tidak menyangka bahwa orang tuanya benar-benar sudah pergi dari rumah ini dan memilih untuk meninggalkannya sendirian.

Malas berlama-lama di area halaman belakang, Mara segera berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Mara rasanya mau tidur saja sampai besok pagi karena merasa tak sanggup harus menghadapi malam sepi di rumahnya seorang diri.

Mengecek ponselnya sebentar, Mara mendapati banyak panggilan tak terjawab dan pesan dari Yoana. Mara sudah menebak, sahabatnya itu pasti khawatir dengan Mara. Memang sejak berangkat tadi, Mara mengaktifkan mode do not disturb pada ponselnya. Tak mau membuat Yoana terus khawatir, Mara segera melakukan panggilan ke Yoana.

IndestructibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang